Badung (Metrobali.com) –

Tim kuasa hukum yang mewakili mantan Rektor Universitas Udayana, I Nyoman Gde Antara,  Hotman Paris dan rekan, telah menegaskan niat mereka untuk meminta penangguhan penahanan setelah eksepsi kliennya ditolak oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar dalam kasus dugaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) jalur Mandiri di Universitas Udayana. Mereka berencana meminta penahanan yang lebih ringan, seperti tahanan kota.

“Kita akan mengatakan untuk yang ketiga kali, mohon penundaan penahanan minimum tahanan kota, dan sebagai petunjuk bagi bapak (red, Hakim) ini saya lampirkan SK rektor Universitas negeri yang memungut uang SPI.” ujar Hotman didampingi oleh kuasa hukum lainnya, Erwin Siregar dan Agus Saputra dan para aktivis, di Badung, Bali, pada Senin, 20 November 2023.

Hotman, ditemui di Kopi Jhony, menyatakan bahwa berdasarkan Surat Keputusan (SK) Rektor dan data dari website universitas negeri di Indonesia yang dikumpulkannya dari 40 universitas, Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) untuk mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri sudah menjadi praktik umum. Menurutnya, hal ini sah dan diakui oleh pemerintah, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), DPR, bahkan Menteri Pendidikan.

“Semua melakukan pungutan uang SPI, untuk mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri, jadi ini sudah praktek yang lama, sah diakui oleh pemerintah, diakui oleh BPK, semua DPR bahkan Menteri Pendidikan juga mengetahuinya, ini datanya semua, antara lain universitas bahkan UI, ITB UNJ, Diponegoro, Undip, semuanya,” tegas Hotman,

Dengan demikian, Hotman menyatakan bahwa sangat tidak masuk akal jika sang rektor dituduh merugikan keuangan negara. Ia mempertanyakan mengapa sang rektor harus ditahan, sementara uang yang masuk melalui jalur mandiri telah mencapai Rp274 miliar ke kas Universitas Udayana.

Hotman juga menyoroti bahwa dalam surat dakwaan tidak terlihat adanya aliran dana dari rekening Universitas ke rekening pribadi kliennya sedikit pun. Menurutnya, dasar penetapan kasus ini sebagai korupsi adalah salah alamat.

“Ada SK Rektor seluruh rektor, melakukan itu (red,pungutan SPI),” cetusnya.

Hotman menyatakan bahwa perlakuan terhadap sang rektor merupakan ketidakadilan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Kasus ini mencuat setelah Prof. Antara menolak permohonan salah satu oknum pimpinan tertinggi hukum di Bali yang sebelumnya.

“Diduga ini ada oknum yang terkait dengan ini, orang itu sudah tidak menjabat lagi, sekarang disini ia (oknum aparat) sodara dia masuk kedokteran dikasih dibantulah masuk,” beber Hotman.

Setelah diterima, ujar Hotman dalam eksepsi kliennya mahasiswa tersebut justeru ‘berteriak’ meminta pembebasan dana SPI. (Tri Prasetiyo)