Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)

Beredar di medsos rencana investasi oleh China untuk proyek bandara Bali Utara dengan nilai 3 miliar dolar AS. Timbul pertanyaan: apakah ini sebatas MOU (Memorandum Of Understanding) atau LOI (Letter Of Intent), yang kemudian diikuti oleh Studi Kelayakan Awal (Preliminary Study) yang kemudian mesti dibuka ke publik, melaksanakan prinsip transparansi dan tanggung jawab publik dalam sebuah negara demokrasi.

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan dan kecenderungan masa depan.

Dikatakan, di era krisis iklim dewasa ini, meminjam istilah Sekjen PBB Antonio Guterres dalam forum PBB tentang Perubahan Iklim, pemanasan global telah membawa manusia ke “jalan tol”neraka iklim, sehingga pembangunan yang tidak merusak lingkungan menjadi tuntutan yang mendesak.

“Dalam konteks bandara Bali Utara, penyusunan Amdal yang kredibel dan dibuka ke publik,.menjadi tuntutan yang mendesak,” kata I Gde Sudibya.

Menurutnya, APBN dalam kondisi super “cekak”, tahun 2025, tahun pertama pemerintahan Prabowo diperkirakan defisit Rp.600 T, 17 persen dari total APBN, angka defisit yang besar.

Dikatakan, untuk proyek makan siang bergizi, direncanakan akan berutang ke China. Tambahan hutang pemerintah membesar, padahal pengelolaan hutang luar negeri pemerintahan sebelumnya sudah “tutup lubang gali lubang”. Untuk membayar hutang, harus mengambil hutang baru.

“Seharusnya pemerintahan Prabowo mesti lebih ekstra hati-hati, extremely prudent- dalam menarik hutang baru, meniru pola pemerintahan Orde Baru,” katanya.

Menurut I Gde Sudibya, pemerintah mesti belajar dari “kegagalan” proyek bandara Kulon Progo, Yogyakarta dan Kertha Jati Jawa Barat, konon tanpa amdal, pengerjaan proyek penunjukan tanpa tender, diduga terjadi moral hazard.

“Konon, oleh Perum Angkasa Pura kedua bandara ini mau dijual, tetapi tidak ada investor yang berminat, mirip proyek IKN. Malahan investor berminat membeli Bandara Soekarno – Hatta, dan Bandara Ngurah Rai,” katanya.

Dikatakan, kedua bandara terakhir hampir dijual pemerintah, setelah mendapat protes amat sangat keras dari masyarakat sipil, sehingga penjualan dibatalkan.

Menurutnya, Pemerintah juga berencana menjual Bandara Ngurah Rai, pengamat menduga beban hutang Perum Angkasa Pura memikul hutang terlalu berat dari banyak bandara yang menjadi proyek rugi.

Dikatakan, Bali terkenal dengan etika lingkungan TRI HITA KARANA, tidak sebatas slogan, tetapi sudah menyatu (embodied) dengan sistem keyakinan agama dan budayanya.

“Cara Berpikir liberal kapitalistik, motif mencari untung sebesar-besarnya, merusak alam, dan meminggirkan masyarakat lokal dalam sistem kapitalisme pariwisata yang selalu menjadi keprihatinan dan protes masyarakat sudah semestinya dikoreksi, bukan diperpanjang dan dicarikan alasan pembenaran,” katanya.

Dari pakar lingkungan kita memperoleh pengetahuan, kerusakan alam, dengan merubah bentang alam, merubah dan merusak ekosistem, terlebih-lebih di laut, biaya rehabilitasinya sangat besar dan bahkan nyaris tidak bisa direhabilitasi.

“Jangan sampai, generasi Bali kini, dipersalahkan dan bahkan “dikutuk”oleh generasi berikut sebagai generasi perusak Bali, hanya demi keserakahan segelintir orang dan memperdaya masyarakat awam, ” kata I Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004. (Sutiawan).