Oleh: Ngurah Karyadi
Adagium “Cogito ergosum—aku berpikir, maka aku ada” merupakan pernyataan filosofis yang pernah sangat populer dan menjadi dasa keberadaan (eksistensi) beberapa dekade lalu. Namun, sekarang pernyataan tersebut justru semakin hilang maknanya seiring dengan kenyataan sosial yang kian pragmatis. Keberadaan sosial ditentukan kemampuan material, tidak penting darimana mendapatkan.

Kehidupan masyarakat modern saat ini terepresentasikan dalam slogan  “I shop therefore I am –aku berbelanja, maka aku ada”. Ungkapan tersebut, bahkan juga menjadi slogan populer yang merefleksikan semangat konsumsi masyarakat saat ini. Lihat di sekitar kita, di mall, supermarket, mart, dan sejenisnya. Semua energi sosial bermuara pada konsumsi, bahkan mendapat subsidi negara untuk itu. Kenapa demikian, berikut coba penulis paparkan?!

Ciri masyarakat modern adalah kemampuan konsumsi. Faktor konsumsi menjadi dasar keberadaan sosial. Namun konsumsi yang dilakukan bukan lagi hanya sekedar kegiatan yang berasal dari produksi. Konsumsi tidak lagi sekedar kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan fungsional manusia. Konsumsi telah menjadi budaya, budaya konsumsi. Sistem masyarakat pun telah berubah, dan yang ada kini adalah masyarakat konsumen, yang mana kebijakan dan aturan-aturan sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebijakan pasar.

Fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat konsumen, juga sangat diwarnai dengan kegempitaan kegiatan konsumsi. Bagi masyarakat konsumen, saat ini  hampir tidak ada waktu, tempat dan keadaan (desa, kala, patra) tersisa untuk menghindari diri dari serbuan berbagai informasi yang berurusan dengan kegiatan konsumsi. Di rumah, di kantor atau di kampus, kita tak henti-henti disodori berbagai informasi yang menstimulasi konsumsi melalui iklan di tv, koran maupun majalah-majalah. Di jalan, selain terus melewati pertokoan dan pusat perbelanjaan, kita juga terus dihadapkan dengan pemandangan attraktif dari promosi spanduk, baligo atau LedTV  yang menghiasi jalan-jalan dan berbagai sudut strategis kota.

Dilema masyarakat konsumsi tersebut, yang telah melanda sebagian besar wilayah didunia. Saat ini juga sudah terjadi pada masyarakat Indonesia, utamanya pada masyarakat perkotaan. Menurut penulis, fenomena yang menonjol dalam masyarakat Indonesia umumnya, dan Bali khususnya, dan menyertai kemajuan ekonomi adalah berkembangnya budaya konsumsi. Ditandai dengan berkembangnya gaya hidup. Berbagai gaya hidup yang terlahir dari kegiatan konsumsi semakin beragam pada masyarakat perkotaan Indonesia, terutama Jakarta. Nge-mall, clubbing, fitness, nge-wine, hang out di cafe adalah beberapa contoh gaya hidup nampak menonjol saat ini. Semua aktifitas tersebut adalah perwujudan dari hingar bingar konsumsi.

Gaya hidup masyarakat perkotaan tersebut kian berkembang, disatu sisi bisa menjadi pertanda positif meningkatnya kesejahteraan hidup masyarakat kota. Dalam artian,  peningkatan kegiatan konsumsi dipandang sebagai efek dari naiknya penghasilan dan taraf hidup masyarakat. Namun disisi lain, fenomena tersebut juga bisa dikatakan sebagai pertanda kemunduran rasionalitas masyarakat. Dimana, konsumsi dianggap sebagai penyakit yang menggerogoti jiwa dan pikiran masyarakat.

Konsumsi menjadi orientasi hidup bagi sebagian masyarakat, sehingga setiap aktifitas yang dilakukannya didasari karena kebutuhan berkonsumsi. Oleh karena itu, banyak pihak yang menyalahkan rasionalitas konsumsi sebagai faktor yang menyebabkan hilangnya kritisme masyarakat terhadap berbagai hal yang vital bagi kehidupan. Kebijakan pemerintah pun tidak ketinggalan, terlebih dengan dominasi paham neoliberalisme, atau pasar bebas, dikalangan para elite .

Secara idiologis banyak hal yang bisa dibahas mengenai konsumsi. Paling tidak ada beberapa fakta yang tetap tak terbantahkan, yaitu: Pertama, kita selalu terikat dengan kegiatan konsumsi. Kedua, secara fisik kita hanya bisa bertahan melalui konsumsi. Ketiga, dalam semua hal, kita semua adalah konsumen. Keterikatan, daya tahan dan gaya hudup ini lahir dari ‘peniruan’ (mimesis) atas prilaku masyarat Barat. Mudah-mudahan tidak menjadi: Masyarakat “KonsuMie”, yang hanya mampu konsumsi mie.

Benar bahwa aktifitas kita yang tak terelakkan dari konsumsi, namun ada beberapa perkembangan luar biasa yang harus kita waspadai berkenaan dengan aktifitas tersebut. Terutama tentang terbentuknya suatu kehidupan sosial baru yang menjadikan konsumsi sebagai pusatnya. Terlebih dengan negara, dan pengambil kebijakan pemerintahan sebagai ‘calo’ produk impor. Lihat saja, banyak pejabat tersangkut kasus produk impor, dari beras sampai perangkat perang.

Disamping itu muncul banyak masalah yang semakin nyata dan meresahkan bagi kita semua. Perkembangan yang luar biasa ini menekankan pembedaan  antara keperluan-keperluan untuk bertahan hidup bagi manusia, dan perkembangan suatu ideologi yang berdasar pada pasar bebas. Dari dialektika ini perlawanan bisa kita gerakkan, khususnya dalam memperkuat basis produksi, distribusi dan sekaligus konsumsi. Namun bukan sekedar slogan semacam: Aku Cinta Produk Indonesia.