Pengaduan ForBALI ke Komnas HAM

Denpasar (Metrobali.com)-

 

Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI)  mengadukan penolakan rencana reklamasi Teluk Benoa kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kamis (27/8).

Pengaduan ini berlangsung di Posko Pengaduan Komnas HAM yang dibuka di sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali ketika Komnas HAM membuka posko pengaduan di Bali. Pengaduan ini diterima langsung oleh Otto Nur Abdulah, Komisioner Komnas HAM. Menurut Suriadi Darmoko, ini bukanlah pengaduan yang pertama dari ForBALI.

Di dalam pengaduannya, ForBALI menyampaikan beberapa hal, pertama, terkait penerbitan perpres 51 tahun 2014 yang tidak memperhatikan aspirasi masyarakat Bali. Kedua, terkait dengan penurun baliho menjelang kedatangan presiden SBY. Tidak hanya itu, ForBALI juga mengadukan peristiwa intimidasi dalam aksi ForBALI dan adanya upaya pembungkaman yang belakangan terjadi pada gerakan penolakan reklamasi ini dengan upaya merobek baliho dan spanduk penolakan yang terpasang diberbagai titik di Denpasar dan Badung.

Upaya melegalkan  reklamasi Teluk Benoa  tidak pernah berhenti. Di akhir masa jabatan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono malah merestui rencana reklamasi Teluk Benoa dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2014 Tentang perubahan atas perpres 45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan (Sarbagita).

Terkait perubahan perpres Sarbagita, Presiden SBY memanggil khusus Yusril Ihza Mahendra untuk melakukan kajian hukum mengenai perpres tersebut. Sejak itu, pemerintah agresif melakukan upaya revisi termasuk melakukan konsultasi publik secara sembunyi-sembunyi dan seluruh proses hanya melibatkan kelompok yang pro-reklamasi. Sementara komponen masyarakat yang menolak reklamasi tidak dilibatkan. Bahkan, konsultasi publik yang dilakukan Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) tidak satupun pihak kontra rencana reklamasi Teluk Benoa yang dilibatkan termasuk organisasi yang juga anggota BKPRD yaitu WALHI Bali tidak diundang.

Inti dari penerbitan perpres 51 tahun 2014 adalah mengubah peruntukan perairan Teluk Benoa dari kawasan konservasi menjadi zona budi daya yang dapat direklamasi maksimal 700 hektar. “padahal reklamasi ditolak oleh mayoritas rakyat Bali, dan ini terlihat jelas dari seluruh proses penolakan reklamasi yang dilakukan oleh mayoritas rakyat Bali di seluruuh wilayah Bali,” Suriadi menjelaskan.

Pengaduan berikutnya adalah persoalan intimidasi. Misalnya ketika aksi massa dan parade budaya pada tanggal 15 Agustus di perairan Teluk Benoa dan “Pandawa Water Sport aksi tersebut di datangi oleh sekolompok massa tidak dikenal berpakaian hitam dan bertubuh kekar. Keberadaan kelompok tersebut membuat massa aksi merasa terancam dan terintimidasi” kata Kadek Duarsa

Pengaduan lainya adalah soal perusakan baliho penolakan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi yang didirikan di wilayah Denpasar dan Badung yang berisi tuntutan menolak reklamasi Teluk Benoa dan Batalkan Perpres  No 51 Tahun 2014.

Misalnya di Suwung Kauh, sudah 3 kali kejadian baliho terkait dengan penolakan reklamasi mengalami perusakan. Pertama, di bongkar oleh polsek densel menjelang kedatang SBY ke bali untuk membuka pesta kesenian bali. Kedua, perusakan baliho baru yang dipasang di sisi jalan bypass Ngurah Rai dan yang ketiga kalinya adalah perusakan terhadap baliho kedua yang telah diperbaiki. Dan foto dari perusakan itu juga disertakan dalam berkas pengaduan. “Kita diintimidasi. Seolah-oleh rakyat tidak boleh ngomong, Padahal yang kena dampak reklamasi ini adalah kita,” tegas Bobby dari pemuda Suwung Kauh.

Salah satu anggota ForBALI, Roro Sawita mengatakan, ForBALI menolak reklamasi karena menginginkan pariwisata yang adil bagi seluruh masyarakat. Selain itu, jika reklamasi terus dijalankan, tentu akan memiliki dampak bagi kawasan pesisir. “Yang mengalami intimidasi bencana adalah kawasan yang terdampak,” kata Roro.

Menanggapi pengaduan ForBALI, komisioner Komnas HAM, Otto Nur Abdulah berjanji akan memperlajari pengaduan ForBALI. Menurut Otto, Perpres 51 tahun 2014 ini bertentangan dengan Undang-Undang. “dengan dikeluarkannya Perpres nomor 51 tahun 2014, perpres ini telah menerobos dan memblejeti komitmen nasional soal adanya desentralisasi” kata Otto.

Tekait adanya laporan bahwa terjadi penurunan baliho penolakan reklamasi sebelum adanya kedatangan SBY. “Kalau polisi beralasan sterilisasi adalah tidak tepat, ini kan soal kebebasan berekspresi. Ada kesan ini seperti terror dan intimidasi dan ini sudah melanggar hak asasi manusia,” ujar Otto. RED-MB