Komisi I DPRD Buleleng Turun Ke Lahan Bukit Ser Pemuteran, Warga Pemohon, Aparat Desa, NGO Serta Kuasa Hukum Tunjukkan Bukti Data Sesungguhnya
Ketua dan Wakil Ketua Dewan Buleleng serta Kuasa Hukum
Buleleng, (Metrobali.com)
Bak gayung bersambut permintaan para pengunjuk rasa dari komponen masyarakat dan LSM saat mendatangi Gedung DPRD Buleleng belum lama ini. Terbukti Komisi I DPRD didampingi para Ketua dan Wakil Ketua DPRD Buleleng, pada Senin (24/12/2024) terjun langsung melakukan inspeksi ke lokasi lahan yang ada di Bukit Ser, Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Mengingat keberadaan lahan di Bukit Ser simpang siur dan telah menjadi konsumsi publik serta menimbulkan banyak persepsi.
Berangkat dari hal inilah dilakukan pertemuan di Balai Desa setempat yang dilaksanakan jajaran Pimpinan DPRD Buleleng, Ketua dan Anggota Komisi DPRD Buleleng, Camat Gerokgak, Perbekel Desa Pemuteran dan juga warga pemilik SHM yang didampingi kuasa hukumnya dari Kantor INS dan Rekan Singaraja.
Dalam pertemuan
tersebut, banyak fakta terbuka yang membantah simpang siur pemberitaan. Seperti penguasaan lahan puluhan hektar, data yang tersebar namun fakta dilapangan bahwa para pemohon dan juga pihak pengempon Pura Bukit Teledu hanya menguasai secara global seluas 5,4 Hektare tidak 12 Hektare atau puluhan hektare seperti yang diberitakan selama ini.
Terungkap pula dalam dengar pendapat yang dilakukan di Balai Desa Pemutaran bahwa para pemohon sudah berada dan mengelola lahan yang mereka mohon hingga 50 tahun dari tahun 1970an.
Ketua DPRD Buleleng, Ketut Ngurah Arya menjabarkan maksud kehadiran terkait aspirasi yang dibawa oleh komponen masyarakat dan LSM.
Dalam Penyampaiannya kepada para pihak yang hadir, Ketua DPRD langsung meminta informasi terkait prosedur pengajuan atau permohonan tanah negara tersebut, berapa warga yang menguasai serta proses pengajuannya, sehingga terbitnya sertifkat.
Hal ini langsung ditanggapi oleh Perbekel (Kepala Desa) Nyoman Arnawa bahwa pihaknya mengetahui adanya pengajuan dari masyarakat tersebut, tahu bahwa tanah yang diajukan oleh warganya itu adalah tanah negara.
“Kami mengetahui yang mengajukan permohonan adalah 5 pemohon yakni Nengah Wangi, Nengah Kutang, Nengah Matal, Ketut Sudiarsa, Nyoman Werti pemohan satunya adalah dari pengempon Pura Taman Bukit Teledu,’ paparnya.
Pihaknya menjelaskan bahwa warga yang memohon itu adalah 5 Warga dan 1 Pengempon Pura Taman dan telah terbit SHM atas nama para pemohon.
Selanjutnya terkait adanya isu berkembang tanah itu di kapling – kapling, pihaknya sama sekali tidak tahu siapa yang mengkapling- kapling.
“Sama sekali kami tidak tahu,” tegasnya
Perbekel Arnawa juga menyampaikan terkait tanah desa adat bahwa ada duwen desa adat di pura seluas 1,6 Hektare itu termasuk dalam duwen desa adat yang lain itu murni dari pemohon.
“Jadi kalau ditotal yang dimohonkan kurang lebih 5 Hektare 40 are, itu dibagi untuk Pura Taman, Duwen Desa Adat dan pemohon,” beber Perbekel Pemuteran.
Selaku perbekel dan pelayan masyarakat pihaknya tidak mengetahui tanah dikapling-kapling dan gagalnya pengajuan sertfikitat dari desa adat, dalam hal ini pihaknya tidak tahu sama sekali.
Sementara itu Bendesa Adat Pemuteran, Kadek Subrata menambahkan apa yang disampaikan perbekel sepengetahuannya yang sempat menjadi petajuh di Bendesa lama menyampaikan bahwa apa yang menjadi pengajuan di Bukit Ser sebagaimana disampaikan perbekel sudah ada komunikasi dengan adat.
“Kebetulan waktu itu saya menjadi petajuh dan ikut memberikan dukungan surat permohonan masyarakat yang ada disana. Karena sesuai proses sudah tinggal disana,” ucap Jro Bendesa Pemuteran mengawali keterangannya.
“Kebetulan Wangi (alm) adalah temen sekolah, awal – awalnya sebelum ngaturang ayah di adat pernah juga mengajukan permohonan di desa adat, cuman tidak berhasil dan gagal, serta kemungkinan penyebabnya adalah tidak ada bukti fisik kepemilikan. Kami dari desa adat tidak bisa mengajukan permohonan,” terangnya.
Setelah pihaknya tahu, lantas pihaknya rembug akhirnya Desa Adat mendapat hibah dari Pura Taman itu, yakni pengempon (Pura Taman Teledu).
“Dapat 80 are itupun sudah sesuai dengan hasil perarem atau rembug, mungkin dari tiang hanya itu saja pak, bahwa adat sudah menerima hibah dari pura taman,” ucap tegas Bendesa.
Selanjutnya Nyoman Sunarta SH, MH dari Kantor Pengacara INS dan Rekan sebagai kuasa hukum sekaligus yang membantu proses pengajuan sertifikat atas tanah negara menyampaikan bahwasanya prosesnya panjang.
“Ketika mereka datang ke kantor kami, kami tidak langsung mengiyakan. Karena harus mengkroscek benar tidaknya para pemohon sudah menempati tanah tersebut lebih dari 20 tahun. Dan rata-rata tinggal di tahun 70-an, rata rata saya tanya kerena tidak ada pilihan lain mereka tinggal disana dan kembali dikonfirmasi ke klian dusun setempat,” ucap Nyoman Sunarta.
Ditambahkan bahwa proses awalnya sudah dikroscek kepada penduduk disekitar, klian, perbekel dan lainnya, semua juga menjelaskan para pemohon yang jumlahnya 5 orang tadi sudah puluhan tahun tinggal ditempat tersebut.
“Selanjutnya dilakukan pengecekan apa bukti tambahan dari pemohon yakni Nengah Wangi, Nengah Kutang, Nengah Matal, Ketut Sudiarsa, ternyata semua sudah punya SPPT,” ungkap Nyoman Sunarta.
Setelah melakukan pegecekan fisik juga didapati bahwa mereka juga sudah puluhan tahun tinggal dan punya rumah dan garapan meskipun sifatnya tahunan, sebab tanahnya kering dan bercocok tanam hanya di musim hujan.
Ditambahkan bahwa dari hasil penelusuran sudah sesuai ketentuan dan dikonsultasikan ke BPN semua persyaratan administrasi dan lainya akhirnya diajukan ke BPN.
“Pada saat itu ketika 5 pemohon sudah siap, pak kadus menyampaikan jangan hanya warga saja dimohonkan tapi juga pelaba pura, yakni pura taman yang diempon oleh Banjar Adat Bukit Teledu,” jelas kuasa hukum para pemohon ini.
Diterangkan juga oleh Nyoman Sunarta bahwa akhirnya setelah siap dajukan untuk pengempon pura perbekel juga menyampaikan kepada pihaknya jangan hanya untuk pura, tapi perbekel minta juga dimohonkan untuk Desa Adat dan dibuatlah kesepakatan antara pengempon pura dan desa adat.
“Sudah ada kesepakatan pengempon pura dengan Desa Adat, dimana kalau berhasil pengurusan tanah tersebut maka akan dibagi 2, dan setelah terbit sertiifikat untuk pengempon pura dibagilah untuk desa adat seluas 80 are, dan saat ini SHM atas nama Desa Adat sudah dipegang Bendesa Adat” terang Nyoman Sunarta.
Berkembang juga di forum bahwa ketentuan diperbolehkan tidaknya tanah negara yang sudah dimohonkan tersebut jual pasca terbit sertfikat atau tidak.
Dijelaskan oleh Nyoman Sunarta bahwa dari konsultasi dengan BPN disebutkan bahwa tidak ada ketentuan melarang tanah yang telah terbit SHM itu dijual setelah terbit sertifikat. Berbeda dengan tanah redistribusi ada ketentuan tidak boleh dijual selama 10 tahun.
Wakil Ketua DPRD Nyoman Wandira Adi dan anggota Komisi lainnya dimana garis besarnya bahwa tanah yang harus diberikan juga dijaga meski sudah terbit sertfikat dan dianggap sebagai aset untuk anak cucu kedepan.
Pasca pertemuan, Ketut Ngurah arya menyampaikan bahwa pihaknya sudah menganggap masalah ini terang, dan meminta kepada para pihak yang menyampaikan aspirasi dari warga dan NGO untuk memberikan data yang valid dan jelas.
“Tanggal 18 Desember mereka menyampaikan aspirasi terkait permasalah ini (Bukit Ser) tapi setelah kami sidak ke lapangan mengerucut pada 6 pemohon dilapangan yang ada lokasi, dengan luas 5,4 maka data yang diberikan kepada kami dengan luasan 4 dan 12 hektar tidak kami temukan,” ucapnya.
Dikatakan juga lebih jelas juga disampaikan pihak pengacara permohonannya hanya seluas, 5,4 Hektare, sudah diberikan juga kepada pengempon pura bukit teledu dan dibagi dua dengan desa adat.
Bahwa kenapa janggal terkait jumlah parsial yang berbeda tapi dijelaskan karena menduduki tanah itu dengan kurun waktu yang sama.
“Kejanggalan itu sudah diluruskan oleh pengacara bahwa luas yang dimohon sesuai dengan luas yg dikuasai dan digarap oleh pemohon. Kenapa mereka menggunakan jasa pengacara tidak PPAT atau langsung ke BPN, karena terbentur dana mungkin mahal BPHTB dan biaya-biaya lainnya, jika pemohon dan yang mengurus sama-sama berani mengurus, kita tidak bisa mengintervensi,” jelasnya.
Untuk hal ini berbau politik (terkait isu dilempar saat debat) dan lainnya kelima orang ini sudah dihadirkan dan tidak bisa spekulasi lain karena pengakuan pemohon sama.
“Karena temuan simpulan kami juga masalah ini jelas, bahwa para pemohon itu di mohonkan via jasa pengacara karena ketiadaan dana, itu saja simpulan sementara kami, masalah ini sementara klir” pungkas Ngurah Arya menyampaikan berkali kali kepada awak media.
DPRD juga diawal pertemuan hingga akhir menyampaikan ke semua pihak untuk mejaga kondusifitas dan kedamaian mengingat desa Pemuteran adalah kawasan pariwisata yang baru tumbuh dan berkembang.
sementara, pihak kuasa hukum yang mewakili para pemohon dari kantor INS, Nyoman Sunarta SH mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Komisi I DPRD Buleleng.
“Hal ini karena lembaga DPRD yang mampu mendudukan fakta dengan benar, sebelum mempublish ini, dan syukur kami diundang untuk memberikan klarifikasi dan data, banyak sekali pemberitaan yang saat ini simpang siur, berkaitan dengan permohonan yang dilakukan warga pemuteran sendiri, kami menjelaskan bahwa para pemohon juga adalah warga pemuteran yang sudah tinggal puluhan tahun, rata rata 50,” ucap Sunarta.
Ditekankan juga bahwa permohoan yang dilakukan pemohon sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan BPN juga sudah melakukan tugasnya dengan baik.
“Tidak ada pihak – pihak lain yang terlibat. Ini murni adalah profesional dan pekerjaan saya sebagai pengacara untuk membela masyarakat yang minta tolong dan kami sudah fasilitasi semua, warga dapat, pura dapat dan adat juga dapat,” pungkasnya.
Acara kemudian diakhiri dengan melakukan sidak kelapangan, meski terjadi diskusi dan debat namun kesimpulannya bahwa prosedur pengajuan sudah sesuai prosedur. GS