Jakarta, (Metrobali.com)

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengambil langkah tegas dalam menangani konten ujaran kebencian yang terkait dengan isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) — seperti kasus Jozeph Paul Zhang yang beberapa waktu terakhir mencuat.

“Kementerian Kominfo telah dan akan terus mengambil langkah tegas dalam menangani konten yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau untuk kelompok tertentu yang berdasarkan SARA. Kominfo bertindak tegas dalam menangani konten ujaran kebencian berbau SARA,” kata Juru Bicara Kementerian Kominfo Dedy Permadi dalam jumpa pers daring, Senin.

“Kami tidak akan memberikan toleransi, dan menindak tegas konten yang menyebarkan ujaran kebencian individu dan kelompok berdasarkan SARA. Konten yang melanggar peraturan perundang-undangan akan dilakukan pemblokiran dan pemutusan akses sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujarnya kemudian.

Lebih lanjut, Dedy mengatakan bahwa Kementerian Kominfo sejak tahun 2018 hingga hari ini, Senin (26/4/2021) telah melakukan pemutusan akses (take down) terhadap sebanyak 3.640 konten yang bermuatan ujaran kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA.

“Dari sebanyak 3.640 konten, di dalamnya termasuk pemutusan akses terhadap 54 konten yang diduga mengandung konten kebencian dan permusuhan yang pertama kali diunggah oleh Jozeph Paul Zhang,” kata dia.

Konten-konten yang telah diputus aksesnya itu sebelumnya tersebar di berbagai situs, platform media sosial, dan file sharing.

Ada pun konten yang diputus aksesnya tersebut memiliki beberapa kriteria. Menurut Dedy, setidaknya terdapat tiga kriteria penting yang menjadi dasar untuk pihaknya melakukan take down.

Kriteria pertama adalah konten yang mengandung muatan untuk melakukan penghinaan termasuk agama-agama di Indonesia. Kedua adalah ajakan untuk membenci atau melakukan kekerasan terhadap pemeluk agama tertentu. Terakhir, adalah seruan untuk membenci individu dari kelompok atau suku tertentu.

Selanjutnya, konten-konten tersebut ditangani sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku — yakni UU No.11 Tahun 2008 tentang Informas dan Transaksi Elektronik yang sekarang diubah melalui UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE) khususnya pasal 28 ayat 2, di mana setiap orang dilarang dengan sengaja atau tanpa hak menyebarkan info yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian individu dan kelompok tertentu berdasarkan SARA.

Regulasi kedua adalah PP No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) khususnya pasal 5 terkait larangan pemuatan konten yang melanggar aturan di sistem elektronik, dan pasal 96 terkait klasifikasi dan definisi konten yang melanggar peraturan perundang-undangan.

“Terakhir adalah Peraturan Menteri (Permen) Kominfo No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik di Lingkup Privat, khususnya pasal 13 tentang kewajiban pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan dokumen elektronik yang dilarang, dan pasal 15 tentang ketentuan waktu dan prosedur pemutusan akses konten yang melanggar peraturan perundang-undangan,” jelas Dedy.

Lebih lanjut, Dedy mengimbau masyarakat untuk tidak turut menyebarkan muatan elektronik yang berisi ujaran kebencian, perundungan siber, hoaks, dan konten yang merusak kesatuan bangsa.

“Mengimbau masyarakat agar tidak terprovokasi dan terhasut dengan ajakan-ajakan yang ada untuk memusuhi individu atau kelompok berdasarkan alasan SARA. Ini penting untuk menjaga perdamaian bangsa dan ruang digital di Indonesia, menjaga ruang digital kita yang bersih, sehat dan bermartabat,” pungkasnya. (Antara)