Badung, (Metrobali.com)

Perlahan matahari menyelinap ke tepian laut ─ ke ujung jauh Pantai Berawa, Kuta.  Deburan ombak, sorak pantai, suara gaduh orang-orang pesisir kian ramai. Turis-turis mendongak  bengong. Kali ini mereka tak sedang menonton matahari terbenam, atau sekadar menikmati Pantai  Berawa yang landai. Mereka tengah menonton “gurita raksasa” yang “terdampar” di pantai. Para penyaksi  itu seperti  tengah diteror sekaligus dihibur penampakan ajaib. Satu pemandangan  tak lazim tersaji di depan laut ─ instalasi gurita raksasa  anyaman bambu dengan berat kurang  lebih 60 ton.

Namun tak banyak yang paham, alih-alih mau mengerti, instalasi gurita  yang dipajang nyaris lima tahun itu[ tepatnya medio Mei 2019]  sungguh tak sekadar pajangan  hendak meramaikan Berawa Beach Arts Festival II. Akan tetapi ada satire simbolik yang abai dibaca orang awam, terutama bagaimana pulau ini sedang digarap dalam pesta para pemodal. Dan gurita raksasa itu, menurut  penggagasnya, jadi sejenis alarm  bagi penentu kebijakan, supaya berhati-hati mengelola pulau kecil ini. Karena jelas  “gurita”  itu perlahan-lahan telah melahap Bali  dari tepian ─   mencengkramkan kaki-kakinya dari desa-desa pesisir. Dan  Pantai Berawa cuma simpul kecil dari apa yang terjadi di pesisir Bali kini ─  pantai yang hampir rapat dikepung infrastruktur turistik, modal-modal yang menggurita menguasai, mencengkram tanah Bali.

Sama seperti di Kuta, dan wilayah pesisir Bali selatan laiannya, tak ada batas siang dan malam di Berawa ─ tanah-tanah pertanian yang dulu merupakan hamparan subak  nan subur kini berubah jadi pesisir yang berdenyar, turis-turis  berbikini dengan kulit-kulit merah dibakar matahari tropis. Ini sudah menjadi pemandangan yang lazim ─ demikian keramaian turistik ini kian melajur ke utara, merangsek desa-desa.

Iya, itulah  instalasi gurita raksasa yang dipajang seniman  I Ketut Putrayasa, pematung kelahiran  Desa Tibubeneng, Bali. Melibatkan tak kurang dari tiga ratus seniman desa, dua puluh truk bambu yang  telah “disisit” masyarakat Desa Payangan. Tali-tali bambu ini telah dianyam  dalam wujud potongan-potongan gurita raksasa, sebelum kemudian dirakit di tepi Pantai Berawa. Bupati Badung, I Nyoman Giri Prasta, saat memberi sambutan pembuka Festival Berawa Beach Arts Festival II   nyaris tak menyadari, bahwa gurita raksasa itu satire kritis yang dihujamkan seorang seniman, mengkritisi tata kelola pembangunan Bali, ambruknya budaya pesisir oleh denyar kemakmuran baru.

Kenapa harus gurita? Secara biologis gurita adalah hewan moluska  kelas sefalopoda bertubuh bulat, pendek, dan fleksibel, memiliki delapan tentakel yang dilengkapi selaput renang, berwarna abu-abu pucat dan putih, dapat berkamuflase, tersebar di seluruh lautan. Gurita memilik karakter melilit sesuatu dengan kuat, hingga yang dililit tak mudah melepaskan diri. Lalu sebagai satire simbolik nan dingin, Ketut Putrayasa menghadirkan gurita itu lebih besar, bahkan amat besar, mungkin tak ada yang menyamai di abad ini, kecuali ia akan penjadi efigon kreatif.

Maka dalam praktik bisnis yang menyebar dan mencengkram kuat itu dianggap memiliki kesamaan  karakter dengan sefalopoda gurita. Gambaran semacam inilah yang dihadirkan sang seniman, di sebuah desa pesisir  Tibubeneng yang pelan-pelan poranda oleh gurita bisnis. Pantai-pantai diserung hotel, villa – villa, restoran, dan tempat-tempat hiburan malam yang gemerlap ─ tempat di mana libido hedonisme dirayakan dengan sempurna,  dalam musik malam  mengharu, menyentak, yang pelan-pelan “mengusir” anak-anak  pesisir totok, merangsek kultur agraris  mereka yang damai, meninggalkan  ladang uma  hijau.

Di Desa kelahiran itu, di wilayah Kuta, Canggu, Tibubeneng, Putrayasa menyaksikan dengan perih tanah-tanah yang “hilang”, payau yang diuruk rata, tanah ulayat yang diperebutkan investor, pantai yang diblokade hotel dan restoran. Burung-burung sawah dan petani harus terbang, minggir  tak kuat menghadapi kultur beton dan lampu merkuri. Dunia baru  telah merangseknya. Penduduk lokal  yang tanpa modal, tak paham bisnis turistik  tumbang sendiri. Anak-anak desa terkena obat psikotropika, hiburan malam yang panas, yang di zaman kakek buyutnya tak pernah terpikirkan. Surga baru diciptakan di sini, di mana setiap orang kadang rela “dibunuh” setidaknya dibuat lupa dengan nikmat.

Penghadiran gurita raksasa di Pantai Berawa, tak cuma mengingatkan;  betapa sungguh tak berbelas kasihnya kekuatan modal itu, ia seperti pedang bermata dua, meraup untung berlimpah, dan pajak besar bagi negara. Sumber hidup baru di dunia glamor.  Akan tetapi, dia sedemikian keras memporanda  kultur pesisir, mengubah rimbun pantai menjadi hutan beton. Semua demi satu kata : pendapatan. Pencari kerja, pengais rezeki bergumul ke wilayah ini dengan keahlian masing-masing ─ bertarung hidup mati, dengan segenap labirin dunia turistik; glamor, gelap, dan asing.

Gurita raksasa itu, seperti mununjukkan sinyal, memberi kita gambaran historis, apa yang terjadi di Kerajaan Majapahit  lima abad silam. Sebuah kerajaan agraris yang kuat, dengan angkatan bersenjata tangguh, toh  tumbang juga akhirnya karena masyarakat belum pintar berdagang, atau kemungkinan tidak memiliki gen  bisnis. Dan ketika pedagang-pedagang Gujarat berlabuh di Pantai Pesisir Jawa, mereka membuka bisnis sembari menyebar agama baru, berlahan-lahan mendoktrin penduduk pesisir, yang secara pelan-pelan merangsek Majapahit. Raden Patah, putra mahkota yang memeluk keyakinan baru lalu membakar kraton leluhurnya sembari bersorak. Kesimpulanya; gurita daganglah yang menumbangkan  kerajaan itu di samping  perseteruan politik dari dalam. Tanpa hendak berlebihan, atau fanatik memuja tradisi silam, Bali perlu belajar pada ketidak-awasan Majapahit.

Namun Ketut Putrayasa, tak hendak bercermin pada tumbangnya Majapahit karena  rakyatnya tak pintar berbisnis. Lebih dari itu ditengarai ada “pangreh praja”  pulau ini yang  gampang diajak bekerjasama.  Pengaruhnya juga  seperti gurita, mencengkram para birokrat, preman, tetua adat demi memuluskan modal bergulir di pulau kecil ini. Ada sejenis koorporasi senyap pada pulau ini ─ sementara penduduknya asyk berupacara dengan dana besar, mengambil resiko menafikan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan keluarga. Maka jadilah pulau ini benteng terbuka ─ di mana arus barang, arus modal, dan arus orang dengan nyaman barkamuflase, seakan budaya turistik itu ikut merawat kebudayaan. Padahal yang terjadi adalah sesuatu yang paradok, pantai-pantai amblas terkena abrasi, payau-payau diuruk, subak-subak beralih fungsi, kemacetan  yang mengular, pabrik sabu yang terciduk, kriminaliasi,  bukit,  jurang, dan tebing dikeruk tanpa perasaan dosa pada anak cucu.

Bila dulu di zaman Dang Hyang Nirartha semua patilasan dan jejak kaki orang suci ini dibangun pura,  boleh jadi ada kode pesan;  di sepanjang pantai itu Dang Hyang Nirartha tengah membangun benteng-benteng spiritual. Dan para nelayan kemudian pembangun Pura Sagara, sebagai pusat pengintegrasi sosia-religius para nelayan,  di mana pantai dan laut  harus dijaga kesuciaannya. Namun pelan-pelan pulau ini rapuh menghadapi dinamika zaman. Kultur turistik menyapu peradaban pesisir. Kita tak bisa membayangkan, di tengah gempuran modal, orang-orang menyemut berbisnis di Bali, kita malah dengan bangga mengirim pahlawan devisa  ke luar negeri. Bila pun situasi ini tak bisa disalahkan begitu saja, karena  setiap orang berhak bertaruh hidup di mana saja. Kendati di pulau kelahiran sendiri  ada banyak generasi merasa tak mendapat martabat  mulia ─ lalu bekerja keluar hanya untuk uang dan materi. Tragis, memang.

Sebagai pulau yang terus berdiaspora, tanah di mana nyaris penduduk dunia ada  di sini, pulau ini telah dan sedang mengalami  sejumlah orientasi hidup. Pertama di zaman Bali Kuna, orientasi mereka hidup di pinggiran-pinggiran empat danau. Di sebuah peradaban yang di zaman Bali Kuna bernama catur baga. Baru kemudian di zaman Bali madya, saat Bali dikuasai Majapahit, orientasi hidup mereka bercokol di pesisir. Lalu berubah di era budaya turistik, orientasi itu selain ke pesisir juga ke jalan raya. Dari era ini sesungguhnya gurita investasi telah dimulai di Bali, hotel-hotel besar di Nusa Dua , Jimbaran, Kuta menunjukkan betapa tangguhnya kekuatan modal itu. Mungkin sebentar lagi, bila kereta bawah tanah di Bali  jadi, yang tujuan awalnya mengurai kemacetan di darat, orientasi massa akan tertuju ke bawah tanah. Mall, pusat perbelanjaan, pusat hiburan dipastikan segara terbangun di bawah tanah Bali. Entah, itulah kemajuan bagi orang-orang modern.

Sampai di titik ini “alarm” Gurita Raksasa karya  Ketut Putrayasa itu seperti menemu janjinya ─ ramalan  bahasa rupa ini tak meleset, kekuatan modal akan mengubah wajah Bali ─ sebagaimana juga  lebih awal disuratkan Ida Pedanda Ngurah, pengarang besar Bali abad -19.  Dalam visi ramalan itu, pengarang  besar ini menyuratkan; daksina huluning  jagat, selatan hulunya jagat.

 

Kata ‘daksina’ bukan hanya berarti arah teben atau arah laut,  atau arah kaki bagi orientasi kosmos orang Bali. Dari titik  selatan-lah Bali diatur pemodal, yang boleh jadi dalam setiap keputusan penting pembangunan pulau ini diatur dalam orientasi gurita bisnis. Agenda reklamasi adalah sinyal  nyata itu. Dan Bali akan betul-betul “berkepala” di kaki. Bali tidak lagi dikendalikan  spirit pulau, dikendalikan dari kearifan yang dimiliki, tapi disetir kemauan pemodal dalam hitungan untung-rugi. Dan mereka yang berintlegensi  reptil hidup penuh pestapora.

 

Ketut Putrayasa tak cuma menghadirkan karya dalam ukuran besar, tak juga  dalam tampilan keindahan  halus.  Namun di dalam karya itu ia seperti menitipkan mesiu, yang kerap bisa ditembakkan sebagai kode zaman. Itulah tugas seniman selayaknya, kerap mengganggu sejawatnya gagal tidur siang. Ia pemali menjadi efigon, atau sekadar menerus-neruskan keunikan tradisi. Ia memilih jadi pemberotak  santun, mengingatkan  zaman tanpa merendahkan.

 

Demikianlah arti gurita di tangan seniman Ketut Putrayasa, kerap ia amat jujur mengkritisi keadaan. Sebagai seniman, ia tak bisa mengelak peradaban pesisir berubah, tapi di situ ia  berharap tak ada orang-orang yang dikalahkan ─ alih-alih menjadi tumbal  atas alasan   kemajuan, yang sesungguhnya adalah; kemerdekaan  kepenuhan lahir batin.

 

I Wayan Westa

Kusa Agra, Sabtu, 30 Nov 2024.