Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah menghapuskan hukuman mati (foto: ilustrasi).

Komitmen pemerintah menuju penghapusan hukuman mati masih dipertanyakan. Pasalnya dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) keberadaan pidana mati masih dipertahankan.

 

Dalam rangka memperingati Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia yang diperingati pada tanggal 10 Oktober setiap tahunnya, Koalisi Hapus Hukuman Mati (HATI) kembali mendorong Presiden Joko Widodo untuk segera menghapus pidana hukuman mati dari hukum positif di Indonesia.

Deputi Direktur KontraS Putri Kanesia mengatakan selama ini proses peradilan terhadap terpidana mati di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Tidak jarang mulai proses penyidikan hingga persidangan seringkali terpidana mati tidak memperoleh hak-haknya sebagai warga negara, antara lain disiksa supaya mau mengaku, dibatasi akses untuk bertemu keluarga dan kuasa hukum, pengadilan yang tidak adil dan lain-lain.

Bukan hanya itu saja, terpidana mati yang sudah divonis di Indonesia, hidup dalam ketidakpastian, karena tidak langsung dieksekusi. Mereka harus menunggu bertahun-tahun lamanya di dalam penjara untuk kemudian baru dieksekusi.

“Jadi mereka hidup dalam ketidakpastian. Bahkan kami selalu mengatakan ada dobel penghukuman, karena terpidana mati yang sudah divonis oleh pengadilan itu mendapatkan dua kali penghukuman, satu dia dipidana penjara untuk jangka waktu yang kita tidak tahu berapa lama, yang kedua dengan masa tunggu di dalam penjara yang tidak jelas bertahun-tahun, mereka juga tetap dieksekusi mati,” ungkap Putri dalam Konferensi Pers Peringatan Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia 2019, di Jakarta, Kamis (10/10).

Para narasumber dalam konferensi pers memperingati Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia 2019, di Jakarta, Kamis (10/10) (Ghita).
Para narasumber dalam konferensi pers memperingati Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia 2019, di Jakarta, Kamis (10/10) (Ghita).

Ditambahkannya, hukuman mati sama sekali tidak efektif untuk menghentikan kejahatan besar seperti narkotika misalnya, karena selama ini yang tertangkap hanyalah kurir-kurir kecil yang sebenarnya hanya menjadi korban sindikat narkoba.

“Padahal kalau dilihat, siapa sih yang dieksekusi mati? Rata-rata itu cuma kurir kecil, atau orang-orang yang dijebak, kita tidak pernah sampai ke lingkaran yang paling tinggi, yang katanya bandar itu. orang masih bilang bahwa Fredi Budiman adalah bandar, maka layak dieksekusi mati, padahal dalam testimoninya sebelum dia dieksekusi mati, dia menyatakan bahwa dia saja mengambil narkoba dari China.jadi masih ada lagi, ketika ketika putus yang bawah, kita eksekusi mati yang kecil-kecil ini, itu hanya menutup mata rantai peredaran narkotika, kita tidak akan pernah tahu siapa dalang sebenarnya. Jadi tidak menyelesaikan masalah,” ujarnya.

Sudah 274 Divonis Hukuman Mati di Indonesia

Berdasarkan data Ditjen PAS Kemenkumham, ujar Putri, sampai hari ini ada 274 orang yang divonis hukuman mati, umumnya terkait kasus narkotika, juga karena pembunuhan dan terorisme. Dari jumlah tersebut masih didominasi oleh WNI.

Meski demikian, ada harapan akan penghapusan hukuman mati di Indonesia. Misalnya, pemerintah bekerja keras menyelamatkan buruh migran yng terancam hukuman mati di luar negeri.

Migran Care: Sulit Bebaskan Migran di Luar Negeri karena Indonesia Berlakukan Hukuman Mati

Aktivis senior Migran Care Anis Hidayah mencatat berdasakan data dari Kementerian Luar Negeri, selama lima tahun terakhir, hingga September 2019 setidaknya 297 WNI behasil dibebaskan dari hukuman mati. Namun, proses peradilan yang dialami oleh para pahlawan devisa menuju kebebasan tidak jauh dengan yang dialami terpidana mati di Indonesia, yaitu proses pengadilan yang tidak adil.

Selain itu, pemerintah, ujar Anis, tidak merehabilitasi buruh migran dan keluarga yang terbebas dari hukuman mati tersebut, sehingga tidak jarang bahwa mereka kembali mengadu nasib di luar negeri karena tidak ada alternatif pekerjaan yang dilakukan guna menyambung hidup.

Ia pun menegaskan bahwa hambatan untuk membebaskan buruh migran dari ancaman hukuman mati tersebut adalah karena Indonesia sendiri masih menjalankan pidana hukuman mati.

“Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk membebaskan pekerja migran dari hukuman mati itu selalu terhambat pada satu hal, Arab Saudi selalu mengatakan bahwa kita hanya menjalankan hukuman sebagaimana negaramu menjalankan hukuman, yang mengeksekusi warga-warga lain, itu terbukti secara peradilan memang dipidana mati. Jadi sangat sulit bagi kita, meskipun kita sudah menyediakan pengacara, all out secara diplomasi, tetapi kita selalu terhambat pada, praktek eksekusi mati yang sangat aktif dilakukan di Indonesia, sehingga memang kita selalu mengatakan pada peringatan Hari Menentang Hukuman Mati, Indonesia tidak bisa lagi menunda untuk minimal melakukan moratorium hukum mati untuk menuju penghapusan hukuman mati dan itu mulai diintegrasikan dari revisi KUHP di Indonesia,” ungkap Anis.

Sampai saat ini, kata Anis setidaknya masih ada 188 buruh migran yang terancam hukuman mati. Hal ini mencakup 148 orang di Malaysia, 20 orang di Arab Saudi, 11 orang di Tiongkok empat orang di Uni Emirat Arab, dua orang di Singapura, dan masing-msaing satu orang di Bahrain dan Laos.

ICJR: Ada Angin Segar dalam RKUHP Tapi Butuh Rincian

Dalam kesempatan yang sama, peneliti Institute Criminal for Justice Reforme (ICJR) Maidina mengatakan ada angin segar dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena hukuman mati dijadikan pidana alternatif. Namun komitmen itu belum sepenuhnya tergambar secara rinci dalam rumusan RKUHP.

Pasal 100 RKUHP (versi paling akhir September 2019) menyatakan “hakim dapat menjatuhkan pidana hukuman mati dengan masa percobaan 10 tahun.” Tetapi hal tersebut masih harus dinyatakan dalam putusan hakim, yang artinya ketentuan percobaan tersebut tidak serta wajib diberlakukan bagi setiap terpidana mati.

“Ternyata akhirnya tentang pidana alternatif untuk pidana mati tetap bergantung kepada putusan hakim. Ini salah satu dampaknya jelas, pertama akan menghasilkan negosiasi illegal karena lagi-lagi seperti jaminan rehabilitasi kepada korban narkotika masih berganutng kepada hakim, akan ada negosiasi illegal antara hakim dengan pihak-pihak tertentu memasukkan tentang masa percobaan pidana mati, yang kedua dengan adanya masa percobaan yang digantungkan kepada hakim maka ada prasangka buruk, karena kalau misalkan hakimnya mengatur tentang memutus di dalam putusan dengan masa percobaan, maka akan ada prejudice oh ini hakimnya bermain ketika memutus adanya pidana percobaan,” ujar Maidina.

Oleh karena itu ICJR bersama Koalisi HATI yang terdiri dari LBH Masyarakat, KontraS, Human Rights Working Group (HRWG, dan Migrant Care mendesak Presiden Joko Widodo untuk :

1. Membentuk komisi pakar independen untuk menyusun rencana jangka panjang abolisi hukuman mati dalam lima tahun ke depan

2. Memerintahkan Jaksa Agung untuk tidak melakukan penuntutan hukuman mati

3. Mengkomutasi seluruh terpidana mati yang telah menjalani masa tunggu di atas 10 tahun yang mana komitment tesebut telah tercermin dalam RKHUP dan mengkaji status hukum para terpidana mati lainnya

4. Presiden bersama DPR mengkaji ulang konsep pidana mati dalam RKUHP

5. Mahkamah Agung untuk menerbitkan panduan pemidanaan kasus hukuman mati guna membatasi penjatuhan hukuman mati. (gi/em) (VOA)