Denpasar, (Metrobali.com)

Fenomena politik akhir-akhir ini di Indonesia  agaknya merupakan puncak dari prilaku politik yang tuna etika dan minim moralitas karena akibat liberalisme politik dalam 20 tahun terahir.

Hal itu dikatakan pengamat sosial dan politik I Gde Sudibya, Minggu (5/3) di Denpasar menanggapi konggres luar biasa (KLB) Partai Demokrat di Sumut belum lama ini.

Dikatakan, prilaku politik yang a historis, dengan spirit, idealisme, visi dari The Founding Fathers, melahirkan bangun negara NKRI berdasarkan Pancasila. Spirit ini yang perlu dijaga oleh para tokoh dan elite politik, bukan merusak dan menambah rumit iklim politik di Indonesia.

” Kalau prilaku politik ini terus berlanjut oleh para elite dan rakyat ikut ” arus ” maka tidak ada jaminan di tahun 2045, bangun negara NKRI dan Pancasila akan tetap eksis. Bangsa ini akan terpecah belah, karena politil, ” kata Gde Sudibya.

“Kita sangat mengharapkan semua elite politik dan para pengikutnya untuk bisa menahan diri untuk menghindari prilaku politik yang melawan kepantasan, kepatutan dan prilaku politik yang menghalalkan semua cara. Kasihan rakyat, yang sudah sangat menderita akibat pandemi: menjadi korban virus, ekonomi yang sangat tertekan, adaptasi prilaku yang tidak mudah dan ketidakpastian akan masa depan,” tandasnya.

Dikatakan, sungguh sangat prihatin yakni telah terjadi akumulasi permasalahan masa lalu ( sebelum pandemi ), kesenjangan ekonomi yang dalam, masyarakat yang nyaris terbelah, pasca pilkada Jakarta di masa lalu, dan peristiwa politik berikutnya, yang sarat nuansa SARA.

Dikatakan, kehidupan sosial politik kita yang nyaris seperti api dalam sekam, tidak perlu ” dikompori ” lagi. Yang sangat diperlukan prilaku politik yang menyejukkan, membuat rakyat menjadi lebih ” adem ” , yang sudah begitu ” kepanasan ” akibat krisis ekonomi yang mendera selama satu tahun.

Diperlukan pernyataan dan prilaku politik, tempat rakyat berteduh ( mesayuban, bhs.Bali ), di tengah musim ” kering ” ekonomi, yang kita tidak tahu kapan ujung akhirnya.

Pilihan-pilihan politik ke depan yang tidaklah mudah, jika kita merujuk tesis ilmuwan sosial ternama Francis Fukuyama dalam bukunya: The End of History and The Last Man. Tesis yang menyatakan kemenangan, supremasi sistem demokrasi liberal dengan ekonomi pasar bebasnya, tidak terbukti dan bahkan sementara pengamat menyatakan sebagai sebuah keliru.

Melihat kenyataan kemajuan ekonomi spektakuler dari Tiongkok dalam 40 tahun terakhir, yang kemudian sekarang disusul oleh India dan Vietnam. Sistem ekonomi politik Tiongkok yang dinilai otoritarian dan bahkan sementara pengamat menyebutnya sistem fasis. Vietnam, cendrung mengikuti Tiongkok, sedangkan India di bawah Narendra Modi dengan BJP.nya, yang menonjolkan fundamentalisme agama, sudah tentu tidak bisa begitu saja ditiru di sini, bangsa plural, dan menghargai tinggi pluralisme. (SUT/MB)