keris

Denpasar (Metrobali.com)-

Sebanyak 50 keris pusaka yang dipercaya mempunyai kekuatan supra natural warisan puri, geriya, dan perorangan diarak keliling lapangan Puputan Badung, Kota Denpasar, pada perayaan “Petinget Rahina Tumpek Landep”.

Kirab puluhan keris dari berbagai daerah di Indonesia itu dikemas dalam atraksi budaya dengan melibatkan seniman tabuh. Peserta berbusana khas daerah yang masing-masing memegang sebilah keris dengan ukuran panjang itu diiringi alunan musik khas Bali.

Keris yang lebih menonjolkan segi estetika, baik bentuk keris maupun saungnya, dengan hiasan ukiran mampu menarik perhatian penonton yang memadati sepanjang jalan di depan Museum Bali, tempat pameran keris.

Kirab keris melibatkan peguyuban keris, komunitas kujang, dan tokoh masyarakat mengusung tema “Memuliakan Keris Pusaka Nusantara” sebagai salah satu kegiatan memperingati Hari Tumpek Landep, ritual khusus untuk benda-benda yang berbuat dari bahan besi, tembaga, emas dan perak.

“Umat Hindu melakukan perayaan Tumpek Landep, persembahan khusus untuk keris pusaka dan benda-benda lainnya yang terbuat dari besi pada hari Sabtu, 18 Oktober 2014,” tutur Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Denpasar I Wayan Gatra sebagai penanggung jawab kegiatan tersebut.

Upaya menonjolkan kearifan lokal itu tidak semata-mata untuk menambah atraksi wisata. Namun, pada sisi lain secara tidak langsung mendukung sektor pariwisata karena mampu menyuguhkan atraksi yang tidak kalah menariknya.

Kegiatan pameran itu juga dikemas dalam usaha ekonomi kreatif karena melibatkan para perajin keris maupun perajin lain yang menggunakan bahan baku besi, logam, dan emas sebagai bahan bakunya untuk menggelar pameran bersama sekaligus menjual hasil produksinya.

Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra yang membuka kirab dan serangkaian kegiatan “Petinget Rahina Tumpek Landep” menjelaskan peringatan “Tumpek Landep” yang kali ini jaruh pada hari Sabtu, 18 Oktober 2014 sebagai kearifan lokal dengan representasi keris yang harus dikembangkan pada era global dengan spirit yang terus dibangkitkan.

Transformasi Tumpek Landep secara kekinian dengan fungsi dan makna arti keris yang harus diketahui oleh masyarakat, di samping pengetahuan tentang konsep lahiriah dan batiniah.

Landep memiliki arti “ketajaman” dengan fungsi keris tidak hanya untuk berperang, tetapi representasi keris sebagai religiusitas, kepemimpinan, dan kemasyarakatan dengan kearifan lokal yang tetap eksis.

Dalam era kekinian ketajaman yang dimaksud adalah ketajaman pemikiran yang inovatif menciptakan teknologi mutakhir. Konteks kekinian menyangkut pembuatan keris harus dihargai karena memerlukan kecerdasan dalam pembuatannya sebagai jiwa dan kekuatan.

Dari zaman Nusantara dan Majapahit yang selalu menggunakan keris seperti zaman Bung Karno dengan spirit sebagai alat tempur yang memiliki “inner power”.

Bernilai Estetika Keris-keris pusaka warisan puri zaman kerajaan itu lebih menonjolkan nilai estetika sebagai salah satu potensi warisan budaya yang selama ini terpendam memiliki manfaat yang tidak ternilai harganya.

Masyarakat termasuk wisatawan yang berkunjung ke Bali tentu ingin mengenal warisan budaya berupa keris pusaka, warisan zaman kerajaan di wilayah Kota Denpasar maupun kabupaten lainnya di Bali.

Pengamat dan budayawan Bali yakin Pemkot Denpasar mampu merangkul tokoh puri jika melakukan dengan baik karena pihak puri tentu tidak keberatan untuk meminjamkan sementara keris-keris pusaka bekas kerajaan untuk diperkenalkan kepada masyarakat luas.

Hal itu akan memberikan keuntungan kepada banyak pihak, baik kalangan puri, masyarakat, maupun wisatawan, sekaligus mengandung unsur pendidikan dan mencerminkan peradaban bangsa Indonesia.

Sejumlah daerah di Indonesia yang pernah mendapat pengaruh dari kerajaan Majapahit, mewarisi berbagai ragam bentuk keris dengan kekhasan masing-masing yang awalnya berfungsi sebagai senjata tikam dalam berperang.

Kekhasan keris pusaka dari masing-masing daerah itu menyangkut penampilan, fungsi, teknik garapan, dan peristilahan masih tersebar di tengah masyarakat hingga sekarang.

Masyarakat yang masih menggunakan keris di daerah bekas pengaruh kerajaan Majapahit, antara lain Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, semenanjung Thailand selatan, dan Filipina selatan.

Namun, kekayaan dan keragaman keris Nusantara belum diketahui secara pasti, karena tidak ada sumber-sumber tertulis yang deskriptif dari masa sebelum abad ke-15.

Meskipun penyebutan istilah keris telah tercantum dalam prasasti abad ke-9 Masehi, kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan atas analisis figur di relief candi.

Keris awalnya berfungsi sebagai senjata tikam golongan belati, yakni berujung runcing dan tajam kedua sisinya kini mempunyai banyak fungsi budaya di kawasan Indonesia bagian barat dan tengah.

Dari segi bentuk mempunyai kekhasan yang mudah dibedakan dengan senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar. Bahkan, sering kali bilahnya berliku-liku.

Keris memiliki pamor, yakni guratan-guratan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam itu mirip dengan keris adalah badik, pada masa lalu berfungsi untuk berperang sekaligus benda pelengkap upacara.

Namun, sekarang penggunaan keris lebih menekankan pada benda aksesori dalam berbusana, simbul buaya, atau benda koleksi karena nilai esterikanya.

Seri Kedua Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra pada kesempatan itu meluncurkan buku Jelajah Keris Bali Proses Kreatif dalam Pembuatan dan Perawatan Seri Kedua.

Buku seri kedua menyusul buku seri pertama yang diterbitkan pada tahun 2013 setebal 92 halaman ditulis oleh tim yang diketuai Wayan Geriya. Buku seri satu tahun sebelumnya juga ditulis oleh tim yang sama setebal 110 halaman.

Buku seri pertama dan kedua isinya menyoroti pembuatan keris, bahan baku, ritual keris (pasupati), dan cara merawat keris.

Buku yang disusun atas gagasan Wali Kota diharapkan bisa dilanjutkan dalam penerbitan buku seri ketiga pada tahun 2015 dan penggabungan buku seri satu, dua, dan tiga pada tahun 2016.

Penggabungan ketiga buku Jelajah Keris Bali akan ditertibkan dalam dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dengan harapan menjadi karya monumental. Selain untuk dokumentasi di Bali, khususnya Kota Denpasar, juga akan dikirim kepada 208 negara yang selama ini menjadi anggota UNESCO karena keris Indonesia, termasuk Bali, telah dikukuhkan sebagai karya agung warisan kemanusiaan milik seluruh bangsa di dunia.

Penerbitan buku tentang keris tersebut dilatarbelakangi begitu besarnya kepedulian masyarakat Bali, khususnya Kota Denpasar terhadap keris sebagai representasi ageman jati diri.

Selain itu, juga memiliki fungsi sosial, nilai kultural spiritual, dan taksu sekaligus bukti respons kreatif terhadap penghargaan UNESCO yang telah menetapkan keris sebagai warisan budaya yang ditetapkan sejak 2005.

Masyarakat bersama Pemerintah Kota Denpasar telah merayakan “Pitenget Rahina Tumpek Landep” persembahan khusus untuk keris pusaka sebagai kegiatan multidimensi sejak 2010. Pada tahun ini berlangsung selama tiga hari, 15–17 Oktober.

Penelitian dan penerbitan buku jelajah keris Bali diharapkan mampu mewujudkan tujuan ganda, yakni menyajikan informasi tentang keris Bali secara komperhensif berbasis kajian ilmiah.

Selain itu menumbuhkan semangat sadar pusaka dan cinta bangsa serta melestarikan keris sebagai pusaka budaya kaya makna dengan nilai tambah secara ekonomi, ideologi, edukasi, dan budaya memperkuat dinamika Denpasar sebagai kota kreatif dan kota pusaka. AN-MB