Abdul Halim

Jakarta (Metrobali.com)-

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan, Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sudah sangat lama dinantikan masyarakat pesisir sehingga pengesahannya di DPR RI mesti dipercepat.

“Sudah sejak lama masyarakat pesisir menanti hadirnya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (22/2).

Untuk itu, menurut Abdul Halim, dengan dimasukkannya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional Tahun 2016 menjadi “pengobat dahaga” nelayan.

Dalam konteks tersebut, Kiara juga menyatakan akan menyerahkan naskah akademik RUU tersebut kepada DPR RI untuk dapat dibahas lebih lanjut dalam proses pembahasan perundang-undangan.

Terlebih, ia mengingatkan bahwa di dunia internasional oleh sejumlah lembaga global juga telah disetujui terkait panduan guna mengamankan perikanan berskala kecil berkelanjutan.

Hal tersebut, lanjutnya, dinilai memiliki manfaat yang penting dalam konteks ketahanan pangan dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di berbagai belahan dunia.

Sedangkan di Indonesia, Abdul Halim menyayangkan belum ada aturan setingkat undang-undang yang khusus untuk melindungi dan menyejahterakan nelayan.

“Sementara ancaman terhadap kelangsungan hidup dan kelestarian ekosistem laut yang menjadi wilayah tangkap ikan nelayan terus berlangsung,” tegasnya.

Sekjen Kiara juga berpendapat bahwa masyarakat pesisir kerap ditempatkan sebagai warga negara “kelas dua” dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Tanah Air.

Bertolak dari hal itu, maka dalam naskah akademik yang disusun Kiara bersama dengan organisasi nelayan masyarakat sipil lainnya untuk pertama kali memberikan pengakuan atas keberadaan dan peran perempuan nelayan.

“Selama ini, keterlibatan perempuan nelayan di dalam aktivitas perikanan tidak mendapatkan ruang,” katanya.

Aspek lainnya yang juga mendapatkan perhatian dalam RUU tersebut adalah pengakuan atas keberadaan dan peran masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Hal itu, ujar dia, dilatari oleh kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya laut yang tidak hanya ikan, yang terbukti aktif dalam menjaga kelestarian ekosistem dan keberlanjutan sumber daya yang terkandung di dalamnya.

“Hak-hak konstitusional nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisis juga mendapatkan perhatian ekstra, di antaranya perlindungan wilayah tangkap. Kemudian jaminan kesehatan dan reproduksi perempuan nelayan, permukiman dan sanitasi yang layak, jaminan harga ikan/garam dari pemerintah, dan ganti-untung atas terjadinya bencana ekologis,” pungkasnya. AN-MB