korupsi

Jakarta (Metrobali.com)-

“Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” adalah petikan kalimat terkenal dari politisi Inggris Lord Acton pada akhir abad ke-19. Sayangnya pembuktian kalimat tersebut di bumi Indonesia masih dirasakan hingga lebih dari dua satu abad setelah diucapkan.

KPK mengusut kasus korupsi dari 9 kepala lembaga/kementerian, 4 orang anggota DPR dan DPRD, 2 orang gubernur, 10 orang wali kota/bupati beserta wakilnya, 2 orang eselon I, II dan III, 2 orang hakim, 15 orang swasta dan 8 orang berprofesi lain-lain sepanjang 2014.

Dan sebagaimana kekuasaan saling berkaitan satu sama lain, maka bila satu rantai korupsi terkuak, rantai itu pun membuka kaitan korupsi lainnya.

Contoh pertama adalah kasus suap kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 2 Oktober 2013 di kediamannya di kompleks Widya Chandra III No 7 bersama dengan anggota Komisi II dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa dan pengusaha Cornelius Nalau.

Akil didakwa menerima hadiah dalam pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) yaitu di Kabupaten Gunung Mas, Lebak, Kota Palembang, Empat Lawang, Buton, Morotai, Tapanuli Tengah, Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel dan Provinsi Banten.

Sayangnya Akil tidak terbukti menerima suap terkait sengketa pilkada Kabupaten Lampung Selatan, namun mantan politisi Partai Golkar tersebut juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp152,07 miliar sejak menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Golkar 1999-2009 hingga menjadi hakim konstitusi di MK pada periode 2008-2013.

KPK tidak membiarkan hanya sang hakim penerima suap yang dijerat, tapi juga sang pemberi suap, dimulai dari bupati terpilih Kabupaten Gunung Mas Hambit Bintih dan bendahara tim suksesnya Cornelis Nalau, keduanya ikut ditangkap bersama Akil. Hambit pun divonis 4 tahun penjara dan Cornelis 3 tahun penjara karena terbukti memberikan Rp3 miliar kepada Akil.

Tidak ketinggalan mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa juga divonis 4 tahun penjara karena menjadi perantara pemberi suap.

KPK kemudian bergerak ke Komisaris PT Bali Pacific Pragama Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang divonis 5 tahun penjara karena memberikan suap dan gratifikasi kepada Akil sebesar Rp1 miliar untuk pilkada Lebak dan Rp7,5 miliar dalam sengketa pilkada Banten.

Sedangkan kakak Wawan, mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah pun divonis 4 tahun penjara karena terbukti ikut bersama dengan Wawan menyuap Akil untuk mengurus sengketa pilkada Lebak. Wawan dan Atut pun masih terjerat perkara lain di KPK yaitu dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan sarana dan prasarana alat kesehatan (alkes) Provinsi Banten 2011-2013 dan alkes kedokteran umum di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun anggaran 2012 yang hingga saat ini masih diproses KPK.

Masih ada pengacara Susi Tur Andayani yang menjadi perantara pemberi suap Akil dan Wawan yang juga divonis selama 5 tahun penjara.

Kemudian berturut-turut KPK menersangkakan para pejabat pemberi suap ke Akil yaitu Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya Masyito yang diduga memberikan Rp14,145 miliar dan 316.700 dolar AS (sekitar Rp3,8 miliar). Saat ini kasus mereka masih bergulir di pengadilan negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Bupati Tapanuli Tengah non-aktif Raja Bonaran Situmeang menjadi penguasa selanjutnya yang dijerat KPK telah menyuap Akil sebanyak Rp1,8 miliar, kasus Bonaran masih diproses di KPK.

KPK tidak lupa menersangkakan tangan kanan Akil Muhtar Ependy yang “baru dijerat” pasal keterangan tidak benar dalam penyidikan dan proses persidangan terkiat Akil. Dalam dakwaan Muhtar, jaksa KPK menyatakan bahwa Muhtar mempengaruhi sejumlah saksi dalam penyidikan kasus Akil di sengketa pilkada Palembang. Muhtar yang mengaku berprofesi sebagai pengusaha itu juga sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan Akil.

Perkara korupsi yang saling berkelindan selanjutnya adalah korupsi proyek Pembangunan Lanjutan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang.

Setelah anak tangga pertama kasus ini yaitu mantan Kepala Biro Keuangan dan Rumah tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen proyek itu Deddy Kusdinar divonis bersalah korupsi dan divonis 6 tahun penjara pada 11 Maret 2014, KPK juga menjerat mantan Menpora Andi Alifian Mallarangeng.

Andi pada 18 Juli 2014 pun telah divonis bersalah dan dihukum 4 tahun penjara karena terbukti menyalahgunakan weewenang. Mantan politisi Partai Demokrat itu dinilai lalai mengontrol dan mengawasi adiknya Andi Zulkarnaen Anwar alias Choel Mallarangeng dan stafnya yaitu mantan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharram dan Deddy Kusdinar sehingga berhubungan dengan rekanan proyek yang memberikan Rp4 miliar dan 550 ribu dolar AS kepada Andi.

Pihak swasta dari proyek Hambalang, dalam hal ini mantan Direktur Operasi I PT Adhi Karya Teuku Bagus Mokhamad Noor, pun divonis 4,5 tahun penjara karena terbukti bersalah ikut bersama-sama menyalahgunakan kewenangan bersama penyelenggara negara yaitu Deddy dan Andi. Atas perbuatan mereka, negara mengalami kerugian dari proyek Hambalang hingga Rp464,391 miliar.

Tapi masyarakat tentu tidak melupakan politisi cerdik mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang juga terkait dengan Hambalang.

Anas divonis 8 tahun penjara ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp57,59 miliar dan 5,26 juta dolar AS karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah dari sejumlah proyek-proyek pemerintah, termasuk Hambalang, dan tindak pidana pencucian uang.

Contoh kasus ketiga adalah korupsi sektor minyak dan gas yang kembali terungkap dari OTT KPK pada 13 Agustus 2013.

Rudi divonis 7 tahun karena terbukti menerima suap 200 ribu dolar Singapura dan 900 dolar AS dari pengusaha asal Singapura Widodo Ratanachaithong dan PT Kernel Oil Pte Limited (KOPL) melalui Simon Gunawan Tandjaya dan 522,5 ribu dolar AS dari Artha Meris Simbolon dan PT Kaltim Parna Industri Artha Meris Simbolon. Penerimaan uang itu diterima oleh pelatih golf Rudi, Deviardi.

Sehingga Simon dan Artha Meris pun divonis selama 3 tahun penjara, sedangkan Deviadi sang perantara divonis 4,5 tahun penjara.

Kasus ini menguak korupsi sektor migas lainnya karena KPK menemukan uang 200 ribu dolar AS di kantor mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Waryono Karno. KPK pun menetapkan Waryono sebagai tersangka dalam dua kasus sekaligus yaitu dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait kegiatan di kementerian ESDM dan korupsi kegiatan sosialisasi, sepeda sehat dan perawatan gedung kantor Setjen ESDM.

Dari pengembangan kasus Waryono, KPK menetapkan mantan Menteri ESDM Jero Wacik sebagai tersangka korupsi pemerasan pada sejumlah kegiatan di Kementerian ESDM terkait jabatan Jero Wacik sebagai menteri periode 2011-2013.

Pun masih ada mantan Ketua Komisi VII dari fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana yang menjadi tersangka dalam dugaan penerimaan suap dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2013 Kementerian ESDM yang diakui Rudi Rubiandini bahwa Sutan mendapatkan 200 ribu dolar AS untuk Tunjangan Hari Raya anggota Komisi VII.

Kasus Menggantung Di antara tali-temali korupsi, masih ada sejumlah kasus yang untuk sementara memiliki tersangka tunggal, meski tersangka tersebut berasal dari kalangan “high profile”.

Kasus pertama adalah dugaan korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama 2012-2013 dengan tersangka mantan Menteri Agama Suryadharma Ali yang hingga sampai sekarang belum ditahan.

KPK dalam kasus ini menduga ada pelanggaran dalam beberapa pokok anggaran yaitu Badan Penyelenggara Ibadah Haji, pemondokan, hingga transportasi di jamaah haji di Arab Saudi yang mencapai Rp1,1 triliun. Bahkan menurut Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Muhammad Yusuf pihaknya sudah memberikan Laporan Hasil Analisis (LHA) mendalam sejak periode 2003.

“Tim kami selama 10 bulan datang ke 14 provinsi untuk memeriksa biaya haji, bayangkan kerja kerasnya untuk memeriksa transaksi sejak 2003 hingga 2012, tapi mungkin yang diambil KPK hanya yang ujungnya saja, yang buktinya jelas yaitu 2012-2013,” kata Yusuf pada Selasa (30/12).

Ketua KPK Abraham Samad menjelaskan bahwa Suryadharma belum ditahan karena pemberkasan kasusnya belum selesai.

“Kalau pemberkasan belum lengkap tapi penahanan terjadi, bisa saja kasus tidak selesai 120 hari dan tersangka bisa lepas, akhirnya merusak sistem kerja di KPK. Jadi pemberkasan perkaranya belum sampai 60 persen,” kata Abraham berkilah, Senin (29/12).

Pertanyaannya, mungkinkah Suryadharma melakukan korupsi haji tersebut sendirian? Kasus lain yang seyogyanya mengikutsertakan banyak pihak adalah korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Terdakwa pada kasus tersebut “hanyalah” mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya yang divonis 10 tahun di PN Tipikor namun diperberat hukumannya menjadi 12 tahun penjara di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Padahal hakim PN Tipikor menyatakan bahwa perbuatan Budi Mulya dilakukan bersama-sama dengan anggota Dewan Gubernur BI lain, termasuk mantan Gubernur BI Boediono.

“Terdakwa Budi Mulya punya persamaan kehendak dengan anggota dewan lainnya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dengan keinsyafan sebagai perbuatan bersama sebagaimana didakwakan karenanya terdakwa ikut serta melakukan bersama-sama dengan anggota yaitu saksi Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom selaku Deputi Dubernur Senior BI, Siti Chalimah Fadjriah, S Budi Rochadi, Harmansyah Hadad, Hartadi Agus Sarwono dan Ardhayadi Mitroatmodjo masing-masing selaku Deputi Gubernur BI dan saksi Raden Pardede selaku sekretaris KSSK,” kata anggota majelis hakim Made Hendra dalam sidang pembacaan vonis pada 16 Juli 2014 lalu.

Masyarakat pun masih menunggu kelanjutan kasus korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) PPh Badan PT BCA, Tbk tahun pajak 1999 dengan tersangka mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Direktorat Jenderal Pajak Hadi Poernomo.

Saksi terakhir untuk kasus ini bahkan dipanggil ke KPK pada sekitar Agustus 2014 lalu. Hadi Purnomo pun masih menjalani aktivitas seperti biasa pasca pensiun dari Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja mengakui bahwa kasus Hadi tersebut butuh waktu lama mengungkapkan kasus tersebut.

“Kan lama banget soalnya. At least kita belum punya data, gratifikasi apa yang diterima sebagai kompensasi atas SK (surat ketetapan),” kata Adnan pada 28 Agustus 2014.

Tapi Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto meyakini bahwa sejumlah kasus besar akan diselesaikan pada 2015.

“Cuma kasus yang menarik ada Rubi Rubiandini (jadi) ada tiga (kasus). Itu yang akan jadi perhatian kita, nanti itu prioritas yang mana,” ungkap Bambang pada Senin (29/12).

KPK pun tetap memproses kasus tindak pidana pencucian uang Pembelian Saham PT Garuda dengan tersangka mantan Bendahara Umum partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

“Yang menarik (lainnya) kasus Nazar yang TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) menjadi prioritas segera semester pertama tahun depan untuk diselesikan,” tambah Bambang.

Masyarakat yang selama ini mendukung KPK tentu menantikan kerja nyata KPK dalam memotong kuasa dari penguasa-penguasa korup di negeri ini. AN-MB