Oleh I Wayan Westa

//Etah, apakah kita sedang merayakan hidup atau tengah merayakan kematian.//

THE LAST STRONGHOLD, BENTENG TERAKHIR. Begitu Ketut Putrayasa memberi nama karya seni instalasi terbarunya. Dihanyam dari jalinan bambu, menyerupai tiga mata bajak, berderet tegak menengadah langit. Plintiran bambu menyerupai bulir padi, sepintas terlihat seperti kelamin wanita. Di sisi ujung barat, ruang segi tiga dijulur ranting bunga padi. Tiang-tiang penyangga mata bajak menancap ke tanah, diseka suara “sunari” dihembus semilir angin, sarana yang kerap disajikan dalam upacara-upacara penting di Bali. Entah, suara “sunari” itu kini terdengar seperti keluhan dari masa lalu — dirasakan layaknya rasa was-was petani yang segera terusir dari ladang upacara tanah leluhur.

THE LAST STRONGHOLD tergelar di hamparan tanah huma yang secara masif tengah dirangsek bangunan-bangunan villa yang moncer, mentereng dan angkuh menjadikan huma hijau itu tumbal industri pariwisata. Bayang-bayang benteng terakhir peradaban agraris amat nyata di depan mata. Ya, huma yang tak seberapa luas ini, terletak di Subak Padang Dalem, Kecamatan Tegalalang, Gianyar terasa seperti menunggu hari-hari penghabisan. Mesin kapitalisme segera mengeksekusi, lalu lanskap imajiner itu pun hapus.

Frasa ‘padang dalem’ mengingatkan kita pada kata-kata kuna Nusantara, yang boleh kita maknai sebagai ‘cahaya dari dalam’ — cahaya yang berabad-abad menjadi sumber hidup petani, tempat keluh kesah diterjemahkan dengan kerja. Bukankah sawah itu adalah juga cahaya bagi pemulia tanah. Universitas kesabaran bagi petani yang merawat dan memuliakan ibu bumi — upacara nyata kaum karma kanda, di jalan doa dalam tindakan. Hanya dengan cara itulah petani merawat tanah air.

Subak Padang Dalem memang persis benteng terakhir peradaban pertanian Bali. Dikitari tebing terjal, pohon-pohon hijau dan air yang mengalir pelan sungguh seperti kerisauan kontemplatif. Teater penghabisan panggung para petani. Satu peradaban yang pelan-pelan kikis di hadapan industri pariwisata nan glamour, hedonis, genit, namun ringgkih. Di titik ini lamat-lamat manusia tak lagi menghargai tanah sebagai ibu bumi. Ibu dari segala ibu, pemberi hidup semua yang hidup — lalu huma itu tak lagi menjadi lanskap imajiner, dimana tanah cuma dipandang sebagai hamparan pendulang material.

Tiang-tiang beton, cakar-cakar besi, tak cuma menunjukkan bahasa keangkuhan, namun juga panggilan kuburan masa depan. Sementara krisis pangan kian menjadi-jadi — dan subak beralih fungsi dengan nada ketus. Biota huma dan jazad renik penjaga tanah terusir dari hidup yang nyata, diberondong pupuk kimia, pestisida dan fungisida. Pura Subak ditinggalkan, beralih bisnis reksa dana, crypto yang melahirkan kaum rebahan. Orang-orang berlomba hidup dalam semangat memiliki, ia tak lagi menikmati proses, kehilangan imajinasi, lalu lunglai dalam kenikmatan tubuh.

Ya, di lanskap huma yang subur itu, Ketut Putrayasa seperti tengah menangisi ibu bumi, ia melakukan devosi kreatif, menggugat sekaligus menyerah pasrah, atau bahkan menghujamkan sebentuk kegeraman. Putrayasa mempertanyakan kebajikan agraris yang dititipkan leluhur, yang dalam pandangannya cuma menjadi gincu untuk hidup yang meriah, dangkal, kehilangan makna demi hidup lebih luhur, tanpa kedalaman, dan batin yang kering, poranda janji-janji pembangunan, bahwa masa depan kelak akan menjadi lebih baik. Ia sedih, orang-orang dimakan jargon, terlena citra yang dibangun para birokrat rakus.

Lewat medium bambu, yang menyerupai mata bajak menengadah langit itu, Ketut Putrayasa tengah menghadirkan “lelakut” baru ke tengah-tengah kesadaran kita. Bila dulu, “lelakut” dihadirkan di tengah sawah menyerupai orang-orangan, itu dibuat hanya untuk mengusir burung pencuri padi. Kini lewat “ritual kreatif” THE LAST STRONGHOLD, Ketut Putrayasa tak cuma mengusir burung-burung penghama padi, akan tetapi ia terpanggil memberi penyadaran, bahwa THE LAST STRONGHOLD adalah “lelakut” baru yang memberi kita ruang pemernungan arti dari huma untuk keberlangsungan hidup umat manusia. Berabad-abad sawah bagi orang Bali bukanlah cuma penyangga kekuatan ekonomi semata. Namun sawah telah menjadi altar imajiner, tempat orang Bali melakukan doa dalam tindakan — mulai dari upacara amaluku, upacara pengolahan tanah setelah upacara mapag toya, upacara menjemput air, hingga padi dipermulia sebagai wadag Dewi Sri di sebuah tempat bernama jineng.

Seni Penyadaran
Apa yang digelar Ketut Putrayasa di areal Subak Padang Dalem — sesungguhnya ia sedang penyapa, betapa kita telah jauh memunggungi kebajikan-kebajikan kuna, abai pada tradisi yang hingga kini sungguh tidak ada orang yang bisa hidup tanpa tanah. Tanah tempat dari mana muasal segala yang tumbuh telah mengantarkan semua yang hidup tetap bertahan hingga detik ini. Karenanya, betapa subak dalam konteks kebudayaan Bali menemukan gen-kulturalnya tidak saja menunjukkan kekuatan sosia ekonomi. Namun menunjukkan pula bagaimana orang Bali berkebudayaan; mengolah tanah, merawat air dengan takzim serta menjalankan manajemen penuh keadilan dalam spirit sosio-religius.
Kita menemukan jejak-jejak tertulis di sejumlah prasasti Bali tentang bagaimana air dikelola untuk organisasi tradisi yang disebut subak — satu kultur agraris yang kini tengah dirundung senja kala — poranda menuju tepian zaman. Tengoklah misalnya data yang diberikan Prasasti Trunyan, disitu ditemukan kata ‘serdanu’ yang diduga sebagai jabatan untuk Kepala Urusan Air Danau. Boleh jadi, dari sini kata “ser” berkembang kemudian menjadi ‘pakaseh’, julukan untuk pengurus subak di Bali. Sementara menurut data-data resmi prasasti Bali, kata subak misalnya, berasal-usul dari kata “suwak”, satu wilayah yang di masa lalu disebut sebagai “kasuwakan”. Kata ini tercatat dalam prasasti Pandak Badung yang dikeluarkan raja Anak Wungsu pada tahun 1071 Masehi. Data yang sama juga termaktub dalam prasasti Banjar Celepik, Desa Tojan, Klungkung, prasasti Pangotan, Bangli, dan Prassasti Bwahan, Kintamani, Bangli.
Dari data-data prasasti Bali itu, kita tidak saja menemukan catatan epigrafi perihal betapa tua organisasi manajemen air di Bali guna membangun kemandirian sosia-ekonomi orang Bali saat itu. Data-data kewilayahan dan topografi perihal subak masih bisa kita saksikan walau dengan nada sedikit compang-camping digusur alih fungsi lahan dan desakan masif hutan-hutan beton yang dingin sebagai tanda perayaan ‘kemakmuran’ baru.
Tapi toh bagi orang Bali di masa lalu subak tak cuma menunjukkan fundamen kekuatan sosio-ekonomi. Namun dari wilayah subak yang penuh imajiner itu, orang Bali belajar mengolah hidup dari kesabaran tanah, bahwa dunia agraris bukanlah dunia yang tergesa-gesa. Ia di satu sisi menunjukkan tindakan meditatif sebagai dunia yang senantiasa ‘menunggu’. Menunggu musim tanam yang cocok untuk mengurangi resiko hama disebut kretamasa. Menunggu penyubur alami membusuk menjadi nutrisi penting bagi tanaman. Menunggu padi menguning hingga waktu mengetam dan menaikkan ke tempat penyimpanan padi yang disebut lumbung. Ini adalah sebentuk retret kesabaran bagi pemulia tanah. Ruang-ruang asketik kotemplatif dalam peradaban agraris.

Pada setiap ritus atau upacara yang berkaitan dengan sawah, adalah juga sebentuk devosi penuh penantian dalam keheningan. Sebutlah misalnya, soal Nyepi di sawah, upacara penuh hening ini digelar pada bulan-bulan tertentu dalam sejumlah tradisi-tradisi lokal subak di Bali. Tujuan dan maknanya adalah; menyucikan, mengheningkan wilayah subak supaya segala yang disemai atau ditanam di sawah mendatangkan hasil melimpah, memberi kesejahteraan lahir batin. Ini juga menjadi sejenis tindakan kontrol, bahwa sawah sebagai “mandala dewi sri”, tempat suci bagi para petani, pejalan karma kanda itu, selalu menjauhkan diri dari pikiran dan tindakan yang mengotori subak itu sendiri. Itulah makanya, bagi organisasi subak yang tetap setia menjaga norma-norma suci itu jadi pemali melakukan aktifitas yang mengganggu keharmonisan subak.
Mabea kukung adalah upacara paling mistis yang digelar di sawah sebelum padi-padi itu bunting. Frasa bea kukung bisa kita maknai sebagai hidangan atau persajian bagi upacara rahasia “persenggamaan mistis”. Pesenggamaan dimaksud adalah hubungan intim Dewi Sri sebagai Nini Patuk dengan Kaki Patuk, dengan harapan supaya hubungan itu berjalan penuh rasa puncak. Maka sejumlah jajan beras yang dibungkus daun bambu dan daun kunyit dihidangkan secara meriah. Padi-padi itu lalu dihibur dengan suara “sunari” bernada merdu. Baling-baling kayu atau pindekan berputar, bersuara tanpa henti.

Itulah gambaran-gambaran imajiner perihal bagaimana merawat sawah dalam tradisi Bali, ia tidak cuma dipandang sebagai hamparan tanah, tapi sawah adalah mandala, tempat suci bagi petani pemulia bumi, pemuja Dewi Basundari atau Ksiti Sundari, Dewi Pemberkah Tanah. Ia yang bergaul dengan tanah senantiasa diberkahi kesabaran dan pikiran yang kuat.

Subak dalam geo-kulturnya paling hakiki adalah juga pusat kebudayaan kreatif, setidaknya kebudayaan dalam tradisi agraris. Di wilayah ini dibumikan bagaimana merawat tanah dengan baik, bagaimana mengelola pembagian air dalam sistem supra matematis disebut tali kunda. Ini mengisyarat suatu sistem bagaimana air dibagi dengan adil ke seluruh pengelola subak, mulai dari membangun bendungan, air mengalir ke telabah, parit, dan jelingjingan, hingga ke kanal-kanal penghubung dengan amat merata. Begitu juga dengan pengetahuan pengendali hama ramah lingkungan sebagaimana kemudian tersurat dalam lontar Usada Sawah — teks yang memberi petunjuk bagaimana mengatasi hama dan gangguan binatang seperti tikus, kera, gagak, burung, wereng, walang sangit dan sebagainya.
Sebagai pusat kebudayaan agraris, areal sawah juga menjadi pusat lahirnya sejumlah kesenian. Sebut saja misalnya, sekaa arja di masa silam, kerap lahir dari tradisi mengetam padi, di Bali disebut memanyi. Sejarah arja di Desa Negari dan Singapadu, Gianyar misalnya; terhubung dengan masa silam sekaa manyi itu. Disitu petani pengetam padi, menghibur diri sembari menyanyi, dimana lakon ceritanya diambil dari cerita-cerita Panji dalam tradisi kesusastraan Bali.
Norma-norma yang perlahan hilang inilah yang sesungguhnya tengah dipertanyakan kembali Ketut Putrayasa dengan medium bambu bertajuk: THE LAST STRONGHOLD. Ia seperti memberontak pada situasi di mana tradisi dan norma-norma itu digulung kebaruan khayal yang disebut modernitas. Orang-orang diracuni kenikmatan badaniah dengan logika libidonomic, tersuruk kenikmatan nafsu menguasai dalam kondisi batin yang kerontang. Inilah kondisi nungkalik hari ini yang dari beberapa dekade mengancam kosmos agraris kebudayaan Bali. Orang-orang termakan citra, digulung realitas hidup yang semu, setelah pusat-pusat kebudayaannya seperti subak dibuat tak berdaya.
THE LAST STRONGHOLD lalu menjadi semacam seni penyadaran, sekaligus kepasrahan kelam. Manakala gigi-gigi bajak pengolah tanah itu menengadah langit, itu seperti doa penuh takzim seorang kreator yang gelisah memandang tanah-air hidupnya poranda di depan mata. Etah, apakah kita sedang merayakan hidup atau tengah merayakan kematian. Yang jelas kita mesti memaknai ulang apa arti cerdas bagi umat manusia, dan apa arti sejahtera bagi hidup bersama. Kesejahteran mungkin tak harus dihitung melulu dari gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan yang mulus. Sementara cerdas tak arus diartikan manusia sukses mengatasi kesementaraan — seperti juga pabrik kimia yang sukses mengatasi hama, dan diyakini sungguh memperbaiki hidup dalam kesementaraan. Namun meninggalkan warisan racun yang harus kita hadapi selama beberapa generasi. Dus, ini bukanlah keerdasan. Ini adalah kedunguan yang dirayakan dengan syahwat menggelora. Itulah arti devosi kreatif Ketut Putrayasa, yang semoga bisa menyadarkan kita kembali.