Oleh: Gede Ngurah Ambara Putra

‎PANCASILA Sudah disepakti sebagai dasar yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, dan ditegaskan kembali tanggal 1 Oktober 1965. Melalui Hari Kesaktian Pancasila, menjadi titik awal mengakhiri perang/konflik idiologi, yang penuh kekerasan dalam proses politik. Jauh hari, sebelum reformasi dan demokrasi bersemi. Setelah rezim Soeharto lengser pun, Pancasila masih kokoh dipertahankan di posisi semula.

Oleh karenanya, terbukanya keran demokratisasi multi-partai bukan berarti bak air yang mengalir ke selokan, terus-menerus mencari titik terendah, sampai kembali lagi ke dalam tanah atau ke sungai dan laut. Tetapi, justru harus berlabuh kembali kepada Pancasila, yang setali tiga uang dengan UU Dasar 1945. Sehingga, demokratisasi adalah proses, bukan sebuah tujuan dan bukan pula roh yang menyetir, apalagi hendak menggantikan Pancasila.

Lihat saja, secara urutan bisa dibaca bahwa substansi demokrasi diletakkan oleh para Founding Fathers kita dalam sila ke empat. Hal ini mesti jadi pegangan dalam setiap proses politik, termasuk penyelenggaraan Pilkada 2020, di tengah pandemi Covid 19 saat ini. Bahwa ada nilai yang lebih tinggi yang harus diraih setelah rakyat menikmati demokrasi, yakni: Keadilan Sosial.

Sehingga, imperatif ideologis bagi warga daerah, sebagai bagian dari Indonesia, untuk berjuang tanpa lelah menjaga irama Pilkada sampai ke titik konsolidasi sebagaimana diamanatkan sila ke empat Pancasila. Sudah tentu dilaksanakan dengan protokol kesehatan (Prokes) yang ketat. Dalam artian, jika irama demokrasi  sudah relatif stabil, baik secara institusional maupun prosedural, maka sila kelima Pancasila akan menyempurnakannya. Untuk itu, dibutuhkan komitmen yang tinggi, konsisten, dan berkelanjutan, dalam memperjuangkan berdiri tegaknya keadilan sosial, dengan tumbuh kembangnya kesejahteraan dan disiplin rakyat di tengah pandemi.

Dengan lain perkataan, segala daya upaya untuk meningkatkan kualitas Pilkada sejatinya harus pula berbanding lurus dengan konsistensi dan sustainabilitas peningkatan kualitas keadilan sosial untuk seluruh rakyat. Idealitas ideologis semacam itu tentu bukan sekadar netral di atas kertas, yang cenderung distortif dan reduktif pada tataran teknis operasionalnya. Namun, harus berpihak kepada upaya perbaikan, atau pembaruan dalam tata kelola pemerintahan di daerah.

Pilkada 2020 pastinya bukanlah sekadar urusan penyelenggaraan pemilihan pemimpin yang jujur dan adil semata (procedural democracy).‎ Namun, Pilkada juga soal persamaan kesempatan, beserta segala usaha untuk mendukung kesamaan kapasitas semua warga negara di segala bidang persaingan (pemberdayaan/empowerment).

Artinya, persamaan kesempatan tidak hanya soal aturan main yang adil ‎(fair play), tetapi juga harus diiringi dengan upaya-upaya untuk menyeimbangkan kapasitas persaingan (playing level capacity). Sekaligus, harus ada proteksi untuk yang tak berdaya dan dukungan serta keberpihakan untuk yang lemah.

Apalagi jika Pilkada tersebut berjalan di bawah agenda setting liberalisasi ekonomi dengan panji-panji globalisasi, misalnya. Sinyalemen Menkopolhukam, Machmud MD, dimana Pilkada ditengarai di kendalikan para Cukong, patut diwaspadai! Maka, pertaruhannya adalah amanat konstitusi yang mengharuskan negara untuk melindungi segenap tumpah darah dan seluruh rakyat Indonesia.

Liberalisasi ekonomi akan mereduksi kekuasaan negara/pemerintah, di pusat sampai daerah/kota dan desa, atas eksistensi pasar (self regulating market) dan membiarkan dinamika ekonomi bergerak dalam peta buta “invisible hand” ala Adam Smith. Darwin-isme ekonomi, “hanya yang kuat yang bertahan” (survival of fittes) semacam itu pada gilirannya akan memperbesar ketimpangan ekonomi dan mendorong terjadinya alienasi sosial terhadap lapisan masyarakat yang tak berdaya. Masyarakat yang terpinggirkan oleh ganasnya persaingan kehidupan sosial ekonomi.

Dalam arti, agenda kesejahteraan sosial juga akan tersubordinasi ke bawah bayang-bayang kepentingan pihak-pihak yang kuat atau pemilik modal semata. Sehingga, pasal 33 UUD 1945 yang berfungsi sebagai roh dari demokrasi ekonomi Pancasila akan terus digiring menjauh dari idealitas konstitusionalnya. Ini tidak boleh di biarkan, harus dihentikan.

Mengingat, Bung Hatta sudah berjibaku hampir setengah mati untuk memperjuangkan Pasal 33 tersebut masuk ke dalam batang tubuh UUD 1945 di tengah-tengah sengitnya percaturan ideologi antara sayap kiri dan sayap kanan waktu itu, yang melahirkan Tragedi Kemanusiaan, 30 September 1965. Catatan kelam, yang harus menjadi pelajaran generasi di masa depan!

* Pengusaha, Ketum YTP 45, dan Calon Walikota Denpasar