Denpasar, (Metrobali.com)

Sampai hari ini secara substantif “peminggiran” nilai nilai Pancasila terus berlangsung. Bahkan, budayawan Sujiwo Tejo mempertanyakan apa masih ada Pancasila di Indonesia. Kalau Panca Sila hanya teori belakan masih ada yang sering lantang disuarakan pejabat dan elite bangsa Indonesia.

Menurut pengamat politik Jro Gde Sudibya, Senin 2 Oktober 2023 keterpinggiran nilai nilai pancasila dapat disimak fenomena berikut ini.

Jro Gde Sudibya menunjukkan ada partai peserta pemilu menggunakan azas agama sebagai dasarnya, yang targetnya mendirikan negara berdasarkan agama, implisit ingin menggantikan ideologi Pancasila lewat demokrasi formal.

“Prilaku dan bahkan “kultur” pelaku politik sangat pragmatis, politik sebagai instrument industri kekuasaan, jelas bertentangan dengan butir 4 Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanan dalam permusyawaratan perwakilan,” katanya.

Fenomena lainnya, lanjut Jro Gde Sudibya, pengelolaan ekonomi yang kapitalistik libral, di sana -sini ditemukan gaya pemerintahan semi otoritarian, sehingga membuat distribusi pendapatan sangat timpang, ketidak adilan sosial ekonomi yang dalam.

“Kita harus beranjak dari sekadar peringatan seremonial tahunan dan mengenang sejarah kelam peminggiran ideologi Pancasila di masa lalu.”

Sementara itu, budayawan Sujiwo Tejo menanyakan apa pancasila di Indonesia masih ada dalam praktek sehari-hari di masyarakat bawah.

“Jangan dulu marah. Ini hanya pemikiran, diskusi, acara Indonesia Lawyers Club asuhan bang Karni Ilyas. Menurut saya: “Pancasila itu tidak ada”. Demikian menurut Sujiwo Tejo salah seorang nara sumber yang diundang oleh ILC asuhan Karni Ilyas. Orang tidak marah dan tidak emosional. Malahan orang tertawa,” katanya.

Menurut Sujiwo Tejo, jika pancasila ada maka penggangguran sedikit, air tak bayar, jalan bagus, pemilu tidak curang. Jika pancasila ada tak ada korupsi, tak ada KKN, takkan ada BPJS yang iurannya tak mampu dibayar oleh orang miskin. Jika Pancasila ada tak kan ada kenyataan hari ini bahwa yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Menurut Jro Gde Sudibya, negara dan bangsa ini semestinya belajar dari krisis kebangsaan dan kemanusian yang menimpa Suriah beberapa waktu lalu. Negara yang sebelumnya dengan peradaban tinggi dan menghargai tinggi perbedaan latar belakang etnis dan agama. Terjadi perang saudara berbasis SARA, dilengkapi perang froksi di antara kekuatan super power global, negeri dengan peradaban tinggi ini dalam waktu singkat porak poranda dan tercerai berai.

Diberitakan secara luas di media, suku asli Suriah, sebagai kelompok minoritas beragama Kristen dengan bahasa Ibu yang sama dengan Yesus dari Naxareth, dibantai habis oleh ISIS, terjadi cleansing ethnic, tetapi PBB dan negara-negara besar tidak mampu menghentikan pembantaian etnis ini. Krisis kemanusian yang dashyat dan luar biasa. (Adi Putra)