Keputusan Perpajakan Tidak Adil, Pemicu Kemiskinan Struktural
Denpasar, (Metrobali.com)-
Kritik parodi yang menggambarkan terjadinya ketidak-adilan struktural, dimana kuasa politik dan ekonomi yang “digenggam” segelintir elite, memberikan kelimpahan materi buat mereka dengan para patron di sekelilingnya.
Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pembelajar sejarah ekonomi bangsa, Selasa 26 November 2024.
Menurutnya, pengenaab pajak yang tidak adil akan melahirkan kemiskinan struktural, masyarakat miskin karena “tercekik” oleh ketidak-adilan struktural. Nyaris tidak mungkin bagi puluhan juta kelompok miskin, menerobos naik kelas, akibat dihalangi oleh “vested interest” yang “mengangkangi”, seluruh sumber daya.
“Negara mestinya hadir, untuk melakukan koreksi terhadap ketidak-adilan struktural dan kemiskinan struktural, tetapi faktanya justru “mempersubur” ketidak-adilan,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pembelajar sejarah ekonomi bangsa.
I Gde Sudibya memberi contoh kongkrit, keputusan politik perpajakan pemerintah yang sarat ironi, membebani rakyat kelas menengah bawah, “memanjakan kelas atas.
Dikatakan, risiko ketidak-adalah sosial dari kekuasaan, sudah dibayangkan oleh para pendiri Republik. Di design konstitusi, dengan idealisme SOSIALISME. Mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, kemanusiaan dan keadilan sosial. “Fakir Miskin dan anak terlantar dipelihara negara”.
Menurutnya, prinsip dasar sosialisme ini, yang semakin hari semakin dilanggar. Terjadi apa yang disebut Soekarno dalam ungkapan berbahasa Perancis “exploitation d’lome parlome”, penghisapan manusia oleh manusia lainnya.
“Dan ironinya negara diam “berpangku tangan:, dan bahkan menjadi pemicu dari ketidak-adilan sosial. Dan, Pemerintah telah gagal menjalankan amanat konstitusi berbasis cita-cita ideal Sosialisme,” kata I Gde Sudibya.
Dikatakan, dalam analisis sosial kritis dinyatakan, siapa yang menguasai “bangunan bawah” masyarakat yang berupa hubungan produksi, menguasai sumber daya, merekalah yang secara de facto menguasai negara dan bahkan menguasai sistem berpikir masyarakat. (Sutiawan).