Foto: Aksi persekusi kembali terjadi di Pasraman Sri Sri Radha Rasesvara Blumbungan, Banjar Dualang, Desa Sibanggede, Kecamatan Abiansemal.

Denpasar (Metrobali.com)-

Persekusi kembali terjadi di Pasraman Sri Sri Radha Rasesvara Blumbungan, Banjar Dualang, Desa Sibanggede, Kecamatan Abiansemal pada tanggal 8 Oktober 2021 menjadi perhatian publik.

Peristiwa itu terjadi karena ada masyarakat bernama  I Dewa Alit Sudartha alias Dewa Doplang, 50, mendatangi Pasraman Sri Sri Radha Rasesvara dan disana Dewa Doplang melakukan penganiayaan terhadap I Putu Dodi salah satu anggota Pasraman.

Atas tindakan penganiayaan itu, I Putu Dodi  selaku korban telah menyampaikan Laporan pengaduan di Polsek Abiansemal dan laporan tersebut  diberi nomor 91/IX/2021/Bali/ResBDG/POLSEK ABS pada pukul 17.30,  dimana  I Putu Dodi mengaku telah dianiaya oleh  Dewa Doplang, 50, di Pasraman Sri Sri Radha Rasesvara. Laporan dimaksud diterima Aiptu Nyoman Sudarma.

Atas peristiwa tersebut, diketahui pihak kepolisian bergerak cepat bahkan langsung datang ke TKP. Namun, pada hari yang sama, korban diketahui telah memaafkan pelaku dan Dewa Doplang pun menyampaikan permintaan maaf secara resmi disaksikan oleh sejumlah pihak, di antaranya Drs. I Wayan Sudiara dan I Made Wibawa.

Dewa Doplang dan Putu Dodi juga menandatangani surat pernyataan bermaterai 10.000. Berikut pernyataan resmi yang disampaikan Dewa Doplang sesuai aslinya. Dalam surat pernyataan resmi ini, I Putu Dodi disebut pihak 1, sementara I Dewa Alit Sudartha alias Dewa Doplang disebut pihak II.

Namun Ida Bagus Ketut Susena sebagai Ketua Pusat Koordinasi Hindu Indonesia (Puskor Hindunesia) pada saat hadir dalam mediasi di Kantor Polsek Abisensemal menilai, peristiwa itu terjadi karena adanya Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:KEP-107/J.A/5/1984 tentang Larangan Peredaran Barang barang Cetakan yang Memuat Ajaran Kepercayaan Hare Krsna di Seluruh Indonesia.

Padahal Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Dr. Maria Farida Indrati SH MH dalam legal opinion terkait dengan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:KEP-107/J.A/5/1984 tentang Larangan Peredaran Barang barang Cetakan yang Memuat Ajaran Kepercayaan Hare Kresna di Seluruh Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 8 Mei 1984 kepada Perkumpulan Internasioanal Society for Krshna Consciousness (ISKCON) di Jakarta, 1 Oktober 2021, menyampaikan pendapat hukum antara lain :

Bahwa berdasarkan hukum “Mengingat” dari  Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:KEP-107/J.A/5/1984 sebagai berikut (1) UU No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan -ketentuan Pokok Kejaksaan RI, (2) UU No.: 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan (3) Kepres RI No.: 32/M Tahun 1981 tentang Pengangkatan Jaksa Agung RI.

Dari ketiga pertimbangan hukum yang termuat dalam Keputusan Jaksa Agung RI Nomor:KEP-107/J.A/5/1984 tersebut dapat diajukan sebagai berikut (1) UU No. 15 Tahun 1961 telah digantikan dengan UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI dan terakhir digantikan dengan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, yang disahkan dan diundangkan tanggal 26 Juli 2004 (Lembaran Negara RI TAHUN 2004 Nomor 67), (2) UU Nomor: 4/PNPS/1963 adalah UU mula-mula disebut Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1963.

Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UU, telah dinyatakan sebagai  UU Nomor: 4/PNPS/1963. Setelah UU Nomor: 4/PNPS/1963 dilakukan pengujian secara materiil ke Makamah Konstitusi dalam tiga perkara Nomor Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 maka sidang dalam Keputusan MK yang dibacakan pada Senin, 11 Oktober 2010 dinyatakan sebagai berikut: (a) UU Nomor: 4/PNPS/1963 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan (b) UU Nomor: 4/PNPS/1963 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan demikian, berdasarkan Putusan MK tersebut,  UU Nomor: 4/PNPS/1963 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan  tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 3) Kepres RI No.: 32/M Tahun 1981 tentang Pengangkatan Jaksa Agung RI, tanggal 9 Februari 1981. Keputusan ini merupakan keputusan yang bersifat penetapan (beschikking) yang normalnya individual, konkrit dan final (sekali-selesai) sehingga berlaku sampai masa jabatan Jaksa Agung tersebut selesai, tanggal 30 Mei 1984.

Berdasarkan ketiga alasan terhadap pertimbangan hukum “Mengingat” yang termuat dalam Keputusan Jaksa Agung RI Nomor:KEP-107/J.A/5/1984, pihaknya menyatakan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor:KEP-107/J.A/5/1984 sudah tidak berlaku lagi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selain itu, pendapat tersebut didukung pula dengan berlakunya Perubahan UUD NRI 1945 yang menetapkan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J).

Sementara itu, Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Yanto Jaya, SH mengharapkan agar PHDI Bali menarik diri dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali nomor 106/PHDI-Bali/XII/2020 dan nomor 07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020 tentang  pembatasan kegiatan pengembangan ajaran Sampradaya Non Dresta Bali di Bali , karena SK. 107 yang dijadikan dasar hukum pembuatan SKB sudah sejak semula tidak berlaku lagi pasca  Putusan MK  dan ini dikuatkan dengan  Legal Opinion di atas dan juga bertentangan dengan AD/ART Parisada, yang melarang Parisada Daerah mengikat Perjanjian dengan Pihak Ketiga  terkait pelarangan beribadah  dan kewenangan itu harusnya menjadi kewenangan Parisada Pusat  dengan Persetujuan Sabha Pandita di Jakarta, Senin (11/10). (dan)