Kepercayaan Orang Bali, dalam Perspektif Revitalisasi Budaya
Denpasar, (Metrobali.com)
Dalam manajemen waktu kehidupan, orang Bali mengenal pendekatan holistik waktu, Tri Semaya, Athita, masa lalu, kearifan, hikmah dari peristiwa masa lalu. Nagatha, masa depan, menciptakan masa depan, berbasis Kearifan masa lalu, melalui tindakan nyata di hari-hari ini (Warthamana).
I Gde Sudibya, intelektual Hindu, pengamat kebudayaan mengatakan, dalam kerangka pikir di atas, menarik menyimak tulisan sejarahwan ternama Belanda Dr.R.Goris, bertajuk: Kepercayaan Orang Bali, sejarahwan yang banyak meneliti tentang Bali dari berbagai sumber sejarah, berbentuk lontar, Prasasti dan sumber lainnya.
“Dari temuan sejarahwan ini, kita bisa mengetahui Prasasti Air Tabar dengan tahun 925, seorang raja perempuan beragama Budha Cri Mahadewi dari kerajaan Cri Wijaya. Air Tabar sekarang berada di Desa Tunjung sebelah Barat Bukit Sinunggal, berdiri Pura Petirthan Air Tabar,” katanya.
Dr.R.Goris, memberikan nama Prasasti Gobleg Satu sampai Gobleg Sebelas, terhadap catatan upakara dan sistem kehidupan yang diajarkan oleh raja Cri Kesari Warmadewa, raja beragama Budha dari Cri Wijaya, di kawasan Bukit Sinunggal.
Dikatakan, Prasasti ini dibawa ke Desa Gobleg, oleh warga Desa Tajun generasi ke dua, yang sampai hari ini meninggalkan Pura Tajun, di sisi Danau Tamblingan.
Dr.R.Goris dalam tulisan bertajuk Kepercayaan Orang Bali, menulis: “Yang terpenting bagi pemikiran di dalam kehidupan orang Bali adalah Tuhan. Hatinya berharap benar menuju Tuhan, sama halnya dengan hati yang dahaga berhasrat benar menuju limpahan air”.
Lebih lanjut sejarahwan ini menulis: “Oleh karenanya persoalan-persoalan yang mendalam dari agamanya itu sesuatu yang juga orang Bali masih tersembunyi di belakang kehidupan keagamaan yang getaran- getaran terakhir dari hati manusia tidak dapat dibicarakan secara hambar di tengah-tengah kebisingan dari pekerjaan sehari-hari. Untuk itu, diperlukan ketenangan dalam alam, ketenangan dalam hati”.
Dalam bagian lain tulisannya, sejarahwan ini, mengajukan pertanyaan: Orang Bali mencari sesuatu yang tidak bisa mati?
Goris menjawabnya sendiri: “Bagaimana ini?. Apakah dia takut mengakhiri kehidupan diniawinya? Tidak, tidak demikian: dia mengetahui benar, bahwa kematian keduniawiannya adalah sesuatu hukum dari Sang Hyang Widi, tidak dapat dihindari.
Dikatakan, Orang Bali yang bersungguh-sungguh juga tidak mencari dari kesenangan-kesenangan duniawi, akan tetapi suatu kelanjutan dari pengetahuan mistiknya yang dimulainya dari sini”.
Menyimak uraian singkat tentang Kepercayaan Orang Bali, dari sejarahwan berkebangsaan Belanda ini, yang tampaknya “jatuh hati” pada Bali, tampak kuatnya sisi kuat spiritualitas orang Bali yang tidak terlalu mudah diekspresikan ke hadapan publik.
Sikap keagamaan, laku spiritualitas lebih kepada proses melihat diri ke dalam, “mulat sarira”, menuju sadar diri (jagra), untuk meraih ke keselamatan dan kerahayuan diri (bhadra).
Dikatakan, Upaya revitalisasi budaya masyarakat yang umumnya religius, mempersyaratkan, pertama, pendalaman sastra menjadi keperluan yang wajib, mengembalikan ke jati dirinya ke proses melihat diri ke dalam, terekspresikan dalam dalam karya-karya budaya yang bercirikan ajeg ke jati diri budayanya dalam merespons tantangan dan perubahan zaman.
Kedua, berangkat dari “diktum”, masyarakat bertumbuh, akibat organisasi yang mewadahi kegiatan masyarakat juga bertumbuh, maka organisasi masyarakat tradisional dan organisasi yang bertumbuh untuk merespons perubahan, terus berbenah, sebagai organisasi dengan orientasi pelayanan dan organisasi pembelajar yang berkelanjutan.
Ketiga, kejelasan cetak biru, peta jalan dalam program revitalisasi budaya, yang berpijak pada realitas yang ada, batu penjuru dalam menciptakan dan menatap masa depan, yang secara sengaja di design dan direncanakan. (Sutiawan,)