Oleh : I Gde Sudibya
Dalam sejarah kekuasaan, peradaban dan kebudayaan manusia, kepemimpinan mempunyai peran sentral, untuk menginspirasi, mengajak masyarakatnya bergerak dari impian ke impian, dari harapan ke harapan  dan dari optimisme ke optimisme baru.
 Menantang masyarakatnya untuk menciptakan masa depan. Itulah kepemimpinan yang menyejarah, mengukirkan “tinta emas” peradaban, di kemudian hari menjadi mitos ( dalam pengertiannya yang positif ), pemberi inspirasi, motivasi bagi generasi berikutnya.
Tantangan dan persoalannya, bagaimana spirit dan mekanisme kepemimpinan bekerja, dalam situasi pandemi dewasa ini, dengan krisis multi dimensi yang dibawakannya.
Muliti krisis kesehatan, ekonomi, tekanan psikologis kejiwaan, dan kalau tidak diwaspadai bisa terjadi krisis politik, krisis kepercayaan kepada lembaga-lembaga publik. Modal sosial yang berupa social trust bisa mengalami penggerusan. Bisa terjadi apa yang disebut dengan social disobediance.
Tantangan keras yang dihadapi dalam mengembangkan spirit kepemimpinan pemberi harapan, menyebut beberapa di antaranya:
1. Kepemimpinan harus punya empati publik yang tinggi, bebas dari vested interest, dan agenda politik terselubung untuk target politik  mementingkan hanya kelompok dan golongan tertentu.
2. Kepemimpinan pada butir 1 di atas, melahirkan trust dan dukungan politik luas, bagi kebijakan teknokratis yang diambil, untuk penanggulangan pandemi dan upaya pemulihan ekonomi.
Kepemimpinan  semestinya wasit yang fair/jujur dan adil bagi masyarakatnya. Menjadi tokoh sentral dalam pencarian solusi. Bukan sebaliknya, bagian dari persoalan dan bahkan dapat menjadi trouble maker dari lahirnya banyak persoalan. bersambung
Kepemimpinan: Tempat ” Berteduh ” ( Mesayuban bhs.Bali ) bagi Masyarakatnya. Pandemi Covid-19 telah melahirkan ” musim kering “kehidupan pada semua dimensinya.
Risiko kesehatan tinggi pada  warga dengan cakupan wilayah yang luas. Perekonomian begitu terpuruk, yang tidak dibayangkan sebelumnya. Banyak kesenangan, waktu luang untuk bersantai, pergi liburan yang menyenangkan , begitu mendadak hilang dari ke seharian kehidupan. Diganti dengan protokol kesehatan yang ribet plus ketidakpastian akan masa depan.
Timbul pertanyaan, bagaimana peran kepemimpinan harus dijalankan untuk mampu menjadi tempat berteduh ( mesayuban ), bagi sebagian masyarakat yang mengalami kegalauan kehidupan.
Pertanyaan yang tidak mudah untuk mendapatkan jawaban, tidak semudah menebar janji-janji kampanye di “musim” Pemilu.
Dari perspektif kepemimpinan Founding Fathers, kita begitu banyak punya khasanah mutiara kepemimpinan yang diucap-laksanakan oleh para pemimpin plus negarawan itu. Nilai-nilai tentang : kejujuran, kecerdasan, totalitas penuh pengabdian, kecintaan dan patrotisme pada negeri, empati sosial pada persoalan dan kepentingan rakyat, pada kondisi negeri seperti, meminjam satu syair Chairil Anwar: ” banyak kerja belum selesai “, bisa menjadi tempat berteduh rakyat yang mengalami tekanan panjang kehidupan, dan belum  tahu kapan akan berakhir.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, berpengalaman sebagai kosultan kepemimpinan pada sejumlah perusahaan di Bali.