( Keteladanan yang patut ditiru para politisi di masa Pandemi )
Oleh: I Gde Sudibya
Sejarah memberikan catatan, di tengah masa krisis, orang yang masih punya kewarasan dalam pemikiran, selalu mencari rujukan pemikiran dan atau keteladanan dari orang-orang besar ( orang yang karena prestasinya luar biasa dan melampaui semangat zamannya ).  Salah satunya pada sosok Mahatma Gandhi, politisi negarawan, Bapak Pendiri India, inspirator nilai-nilai kemanusiaan di seluruh dunia, pada kurun waktu yang panjang.
———————————-
Kemarin 2 Oktober 2020, berlangsung Gandhi Jayanti ( perayaan hari ulang tahun Gandhi ) di banyak tempat di seluruh dunia, yang membuktikan kepopuleran dan besarnya spirit dari gerakan Gandhi yang mendunia.
Gandhiji lahir 2 Oktober 1869 di Porbandar, Gujarat India dan meninggal 30 Januari 1948 di New Delhi. Founding fathers negeri ini, Soekarno, Hatta, Sjahrir,  pengagum berat Mahatma Gandhi.
Pemikiran Soekarno tentang Tri Cakti, pemikiran Bung Hatta tentang demokrasi ekonomi dan politik, yang kemudian mencapai puncaknya dalam perumusan pasal 33 UUD 1945 yang historik monumental, pemikiran Sjahrir tentang proses demokrasi yang humanis, juga dipengaruhi oleh pemikiran dan keteladanan dari  negarawan ini.
Bahkan Presiden ke empat Gus Dur dalam berbagai kesempatan menyatakan diri sebagai pengikut Gandhi ( Gandhian ), dan punya akses luas dengan jaringan  Gandhian Movement di seluruh dunia.
Tujuh Dosa Sosial
Pemikiran Gandhiji yang sangat populer mendunia, semakin relevan dalam kondisi kehidupan berbangsa dewasa ini, dan dalam dinamika global kemanusian: tujuh dosa sosial ( seven social sins ) yang merupakan penyakit masyarakat ( social disease ):
1. Politik tanpa prinsip.
2. Bisnis tanpa moralitas.
3. Pencarian kekayaan tanpa upaya kerja, dalam bahasa Gandhiji: wealth without work.
4. Pendidikan tanpa karakter.
5. Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan.
6. Pencarian kesenangan tanpa upaya pembatasan diri ( leissure without consience ).
7. Pemujaan kepada Tuhan tanpa kerelaan berkorban ( pray to the God without sacrifice ).bersambung.

Pemikiran Gandhiji yang jernih, cerdas, berdimensi jauh ke depan ini, sebenarnya merupakan jawaban terhadap  pangkal penyebab krisis kebangsaan, krisis kemanusiaan yang sekarang sedang menimpa masyarakat dewasa ini.
Bagi Gandhiji, politik harus dengan prinsip: Ahimsa dan Satya. Prilaku politik yang emoh kekerasan, berpegang teguh kepada kebenaran. Bukan politik yang menghalalkan semua cara, melanggar etika dan moralitas kehidupan.
Politik yang memegang teguh kebenaran, menolak cara-cara kekerasan, dibuktikan oleh Gandhi dalam peristiwa Amritsar yang terkenal itu. Penolakan penggunaan  garam impor dari Inggris, dipaksa dengan kekerasan oleh tentara Inggris, tetapi Gandhiji tidak bergeming, mengalami penderitaan luar biasa, akibat kekerasan yang berlangsung, sehingga tentera Inggris  ketakutan terhadap non violance movement dan kemudian mengalah. Dari peliputan peristiwa Amritsar, kita bisa menyimak dan juga merasakan kekuatan dashyat yang dibawakan dari gerakan politik Ahimsa, kalau dilakukan dengan ketegasan prinsip dan konsistensi.
Bagi Gandhi, politik adalah kekuatan moral ( moral force ) yang kemudian dibumikan atau diwujud-nyatakan yang dilandasi oleh idealisme berbasis spiritualitas untuk kepentingan umum, dalam kehidupan ke seharian yang amat sangat sederhana.
Gandhi yang konon setiap hari membaca 78 sloka Bab Dua Bhagavad Githa tentang Samkya, kemudian mewujud nyatakan dalam realitas ke seharian: self control ( kemampuan kuat mengendalikan pikiran ), self hep ( menjadi mandiri pada keseluruhan aspek kehidupan ) dan self sufficiency ( melakoni kehidupan sangat sederhana ).
Keteladanan kehidupan Gandhiji ini, pantas ditiru oleh para politisi, untuk sebagian sekarang agaknya sedang  ” tiarap ” atau seakan-akan ” ditelan bumi, ditengah-tengah rakyat menyabung nyawa menghadapi pandemi. Data per 30 September, jumlah positif terpapar secara nasional 287,000 orang dengan angka kematian 10,740 orang. Di tengah ekonomi warga begitu terpuruk, secara nasional nyaris resesi. Untuk ekonomi Bali sudah mengalami resesi, bahkan mengalami dampak ekonomi terburuk, tumbuh negatif 10,89% pada triwulan ke dua ( kalau dihitung secara tahunan ). Dususul oleh DKI.Jaya dan Jogyakarta.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, penekun pemikiran ekonomi politik Mahatma Gandhi.