Foto: Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali dari Fraksi Demokrat Putu Supadma Rudana (PSR).

Jakarta (Metrobali.com)-

Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Harga Pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10 ribu per liter (harga BBM naik).

Selain Pertalite, harga Solar bersubsidi juga turut naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, dan Pertamax non-subsidi dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter. Harga baru BBM ini berlaku sejak Sabtu, 3 September 2022.

Kenaikan BBM dikawatirkan berdampak pada inflasinya atau naiknya harga barang-barang termasuk kebutuhan pokok yang tentunya akan membuat masyarakat yang sedang susah di masa pandemic ini akan semakin susah, rakyat makin melarat dan juga bisa membunuh potensi UMKM yang mulai bangkit setelah dihantam pandemi. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Naiknya harga BBM ini mendapat sorotan Anggota Komisi VI DPR RI dapil (daerah pemilihan) Bali dari Fraksi Demokrat Putu Supadma Rudana (PSR). Supadma Rusana mengingatkan pemerintah agar kawal inflasi dampak kenaikan harga barang-barang jangan sampai merugikan masyarakat kecil, terutama Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Supadma Rudana yang juga sebagai Wakil Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI ini meyakini kenaikan harga BBM tentu akan berdampak terutama dengan kemungkinan kenaikan harga barang-barang kebutuhan masyarakat.

“Pemerintah wajib mengawal, jangan sampai inflasi terlalu tinggi. Karena sudah pasti UMKM bakal paling terdampak,” tegas politisi yang kerap disapa PSR.

Supadma Rudana mengungkapkan kenaikan harga BBM oleh pemerintah ini menyentuh kepentingan masyarakat kecil. Pasalnya, BBM jenis pertalite, solar non subsidi paling banyak digunakan masyarakat kecil menengah ke bawah sehingga masyarakat pasti mensiasati supaya bisa bertahan.

“Kenaikan harga BBM ini mengancam pertumbuhan ekonomi masyarakat kecil,” ungkapnya.

Politisi asal Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar ini memandang kenaikan harga BBM ini momentumnya sebenarnya tidak tepat karena ekonomi masyarakat baru menggeliat, pasca Pandemi Covid-19. Apalagi di Bali, sektor pariwisata baru mulai menggeliat dan di Bali efeknya pasti keras terhadap ekonomi rakyat, terutama bagi pelaku pariwisata yang bergerak di bidang bisnis transportasi.

“Kalau dilihat dari momentum, sebenarnya kurang tepat saat ini dengan menaikkan harga BBM, ekonomi masyarakat baru menggeliat setelah terjadi hantaman pandemi Covid -19. Saya menerima aspirasi dari kalangan praktisi pariwisata di Bali mereka juga merasa berat, namun nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Kalau cost tinggi, ya pariwisata juga jadi mahal,” sentil Supadma Rudana.

Supadma Rudana berharap walaupun kenaikan harga BBM ini merupakan mekanisme pasar, harus ada upaya-upaya pemerintah mengatasi jeritan masyarakat kecil seperti harga kebutuhan pokok harus murah. Harga tiket pesawat juga jangan sampai naik, sehingga wisatawan domestik tetap bisa ramai ke Bali.

“Kalau tiket mahal, mereka bisa beralih ke destinasi lain dengan harga murah dan terjangkau,” pungkas Supadma Rudana yang membidangi BUMN, Investasi, Perdagangan, UMKM. (wid)