Kemiskinan dan Ancaman Migrasi Agama di Bali
Ilustrasi Acara Metrobali Podcast
Diskusi di Metrobali Podcast : “Nasib” pariwisata Bali pasca pandemi dan KTT G20″
Selama tiga tahun ekonomi Bali “babak belur” akibat pandemi, yang berakibat naiknya jumlah orang miskin dan rentan menjadi miskin. Dengan angka garis kemiskinan Rp450 ribu/orang/bulan, menandakan rendahnya standar kehidupan bagi penduduk miskin.
Dalam sejarah ekonomi Bali, sangat lekat relasi jumlah orang miskin dengan migrasi agama (pindah agama dari agama Hindu ke agama lainnya).
Tekanan ekonomi pasca Gunung Batur meletus tahun 1926 yang diikuti dengan depresi ekonomi, malaise disebut zaman meleset dalam dasa warsa tahun 1930’an, dan kemudian Gunung Agung meletus Maret 1963, mengakibatkan bertambahnya orang2 miskin yang diikuti oleh migrasi agama. Terjadi di beberapa kabupaten di Bali.
Dalam diktum “sejarah selalu berulang”, pasca pandemi ini, risiko terjadinya migrasi (massif) tentang perpindahan agama patut diwaspadai, disimak dan diberikan respons.
Dari sisi kebudayaan, Bali bukan saja terdistorsi oleh sisi ruang tetapi juga klan yang berebut pengaruh dan rawan atas persatuan membangun Bali Santi, apalagi sad kertih. Fragmentasi akan lebih “heboh” menjelang tahun politik 2024. Bali Nuwed tidak seperti suku bangsa lain, menjadikan Bali Tamiu sebagai aset pembangunan.
Tantangan dalam memberikan respons:
1.Pemda harus fokus dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tercermin dalam kebijakan fiscalnya, BUKAN ke proyek mercu suar seperti: Pusat Kebudayaan Bali di Desa Gunaksa, Klungkung, Jalan Tol Gilimanuk – Mengwi, Pemancar “raksasa” di Desa Pegayaman Buleleng, yang bisa melahirkan “Accidental” poverty, kemiskinan akibat bencana alam dan kesalahan dalam perumusan kebijakan.
2. LPD, Koperasi, BUMdes dan UMKM harus didorong terus pertumbuhannya, karena berdampak signicifican dalam upaya pengembangan ekonomi rakyat dan juga penanggulan kemiskinan.
3.Ekonomi gotong royong, ekonomi berbagi yang telah mentradisi terutama di perdesaan terus dirawat dan dikembangkan, pemilik kebun dan UMKM menciptakan kesempatan kerja bagi buruh tani dan anggota masyarakat lainnya yang memerlukan pekerjaan.
Dalam posisi Bali yang secara ekonomi memurun dan kemiskinan bertambah, maka
ekskutif dan legislatif harus lebih empati dalam merumuskan kebijakan pro wong cilik.
Misalnya, peningkatan nilai tukar petani, penciptaan kesempatan kerja produktif terutama di perdesaan, peningkatan daya beli bagi para perempuan pekerja, karena peningkatan penghasilan kaum perempuan berdampak nyata pada kesejahteraan keluarga.
Merujuk laporan Forum Ekonomi Dunia, untuk rentang 2 tahun ke depan, masyarakat dunia dihadapkan kepada risiko krisis biaya hidup akibat peningkatan biaya hidup tidak seimbang dengan pendapatan.
LPD Bali, yang jumlahnya sekitar 1.200 buah dengan nilai aset di atas Rp.5 T, dengan jumlah karyawan sekitar 9.000 orang, telah terbukti nyata berkontribusi untuk peningkatan kesejahteraan krama Bali, harus diselamatkan melalui kebijakan empati dari Pemda Bali melalui sumber daya publik yang ada, plus penyelesaian kasusnya berbasis aturan khusus yang ada pada LPD.
Ekonomi gotong royong, ekonomi “paras-paros”, ekonomi berbagi yang telah mentradisi harus terus dirawat, menggambarkan ekonomi sosialisme religius, berbasis kepercayaan niskala, kerja sama saling berbagi dalam kegiatan ekonomi produktif yang telah mentradisi.
Dari sisi kebudayaan, Bali bukan saja terdistorsi oleh sisi ruang tetapi juga klan yang berebut pengaruh dsn rawan atas persatuan membangun Bali Santi, apalagi sad kertih. Fragmentasi akan lebih “heboh” menjelang tahun politik. Ketiga, Bali Nuwed tidak seperti suku banhsa lain, menjafikan Bali Tamiu sebagai aset pembangunan.
Jro Gde Sudibya, ekonom, konsultan ekonomi Bali dan pengamat ekonomi.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.