phk

Jakarta (Metrobali.com)-

Kementerian Ketenagakerjaan menegaskan bahwa pengusaha tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja buruh secara sepihak tanpa adanya kesepakatan atau perjanjian bersama.

Hal itu disampaikan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Ruslan Irianto Simbolon, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (11/3).

“Tidak bisa PHK dilakukan secara sepihak. Harus ada kesepakatan atau perjanjian bersama, atau penetapan, atau izin dari instansi yang berwenang, dalam hal ini Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial atau pengadilan hubungan industrial,” ujar Ruslan.

Dirjen Ruslan menyampaikan hal itu mewakili Presiden RI, saat memberikan keterangan pada sidang uji materi UU PPHI yang dimohonkan oleh para buruh.

Ruslan menyebutkan bahwa apabila pengusaha tetap bersikeras hendak melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja buruh, maka pengusaha yang bersangkutan diwajibkan untuk merundingkan maksud PHK tersebut dengan serikat pekerja atau serikat buruh, terutama apabila pekerja buruh yang bersangkutan menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh.

“Atau langsung dengan pekerja buruh yang bersangkutan apabila tidak menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh. Jadi pelaksanaan pemutusan hubungan kerja hanya diselesaikan secara internal atau bipartite,” kata Ruslan.

Kendati demikian, Ruslan tidak menampik bahwa sering terjadi ketidaksepakatan dalam perundingan penyelesaian pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja buruh.

“Namun pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerja buruh setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,” tegas Ruslan.

Dengan kata lain, pengusaha tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja buruh secara sepihak atau semena-mena tanpa adanya kesepakatan atau perjanjian bersama, atau penetapan, atau izin dari instansi yang berwenang, dalam hal ini Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial atau pengadilan hubungan industrial.

Perkara ini diajukan oleh sembilan orang buruh yaitu Khair Mufti, Agus Humaedi Abdillah, Muhammad Hafidz, Chairul Eillen Kurniawan, Ali Imron Susanto, Mohamad Robin, Riyanto, Havidh Sukendro dan Wawan Suryawan.

Para pemohon merasa penggunaan hukum acara perdata dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) telah menimbulkan ketidakadilan bagi buruh.

UU PHI yang menerapkan hukum acara perdata dengan model penyelesaian sengketa berdasarkan gugatan contentiosa tanpa melibatkan unsur pemerintah mengakibatkan buruh kehilangan hak-haknya dan kehilangan perlindungan dari negara.

Para pemohon berdalih bahwa pengaturan pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 81 UU PPHI akan menghilangkan kewajiban pengusaha. AN-MB