Zubaidi

Bogor (Metrobali.com)-

Kepala Pusat Informasi dan Humas (Kapuspinmas) Zubaidi minta kepada jajarannya untuk menyampaikan data keagamaan kepada publik dengan percaya diri guna mendukung pemangku kepentingan dalam mengambil kebijakan dengan tepat.

Kemenag punya otoritas untuk menyampaikan data keagamaan. Karena itu, data yang dimiliki harus disampaikan dengan percaya diri dan konsisten, pinta Zubaidi ketika memberi arahan pada rapat Pengelolaan Data Kementerian Agama tahun 2014 di Bogor, Kamis (14/8).

Didampingi Kabid Data Sulistyowati, Kapuspinas Zubaidi menjelaskan tentang pentingnya pengelolaan data di lingkungan Kementerian Agama. Belakangan ini pengeloaan data keagamaan di Tanah Air semakin kompleks, terkait dengan pembangunan rumah ibadah, kitab sucinya dan jumlah penganut agama.

Pengumpulan data dengan pendekatan mayoritas dan minoritas sudah tak tepat lagi. Bisa jadi satu umat agama tertentu di salah satu provinsi jadi mayoritas, di belahan daerah lain pada komunitas agama tertentu pada posisi minoritas. Jadi, urusan data mendata tak semudah yang dikira. Rumit. “Kedengaran sepele, ternyata kompleks,” ia menjelaskan.

Bank Indonesia (BI), ia mencontohkan, kerap dalam periode tertentu mengumumkan berapa uang beredar di masyarakat. Publik pun meyakini data yang disampaikan, karena institusi itu memiliki otiritas di bidangnya. Untuk itu, jajaran Kemenag pun perlu memiliki keyakinan bahwa data yang disampaikan kepada publik harus disampaikan percaya diri dan konsisten.

Ada tiga hal penting dalam pengelolaan data keagamaan. Yaitu, pertama jumlah penganut atau pemeluk agama, kedua terkait rumah ibadah dan ketiga jumlah kitab suci dari masing-masing pemeluk agama di Tanah Air. Ketiga hal ini erat kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas kehidupan beragama di Tanah Air.

Tapi, lanjutnya, pengelolaan data semua itu tidak mudah. Siapa yang mengumpulkan data itu dan bagaimana koordinasinya dengan internal Kementerian Agama dan kementerian lain, seperti Kementerian Dalam Negeri. “Untuk urusan koordinasi dengan instansi lain, Alhamdulillah, dukungan dari para pejabat kementerian lain cukup bagus. tetapi pada tataran implementasinya belum mendapat dukungan dengan baik di lapisan bawah,” ujar Zubaidi.

Egosektoral dalam pengumpulan data seharusnya bisa dihilangkan jika pendekatannya dilakukan dengan baik. “Sayangnya, ketika bicara koordinasi antarinstansi cuma bagus sampai pada tahap pembicaraan,” katanya dengan nada kecewa.

Kualitas keagamaan Ia menjelaskan, jika bicara kualias tentang kehidupan beragama tentu erat kaitannya dengan data. Posisi kualitas agama saat ini pada peringkat berapa, di posisi angka berapa dan kapan kualitas yang terbaik tersebut dapat dicapai. Semua harus tergambar dalam angka. Berapa jumlah penganut agama, rumah ibadah dan kitab sucinya.

Pendataan pemeluk agama harus dilakukan dengan baik. Tidak seperti menghitung jumlah suku tertentu di satu kota dengan mengaitkan pemilikan angkot atau metromini yang ada di kota. Demikian juga dalam mendata jumlah rumah ibadah, semakin detail kepemilikannya semakin bagus.

Sebab, lanjut dia, hal itu memiliki kaitan erat jika Pemerintah ingin memberi bantuan punya panduan jelas untuk besaran pagu anggarannya. Di Tanah Air, ragam rumah ibadah sangat banyak. Untuk Islam saja, ada masjid raya, masjid jami, mushalla yang kesemuanya butuh jelas kriterianya.

Di agama lain pun demikian. Diperlukan kriteria yang jelas mulai dari pemilikannya, status pemilikan dan sebagainya. Ketika bicara rumah ibadah, kadang sedikit menyerempet wilayah sensitif – SARA (Suku, Agama, Ras dan Antarsuku) – yang sesungguhnya harus disikapi dengan mengedepankan toleransi. Toleransi untuk mengerti siapa dia, bukan untuk mengerti dan ikut pendapat dirinya.

Pemutahiran data rumah ibadah semakin kini makin kompleks. Ia minta diperbaiki di seluruh Indonesia. Pendirian rumah ibadah kaitan dengan izin mendirikan bangunan (IMB) yang urusannya ada di pemerintah daerah. Untuk hak ini pihak asing tak mahami.

“Kok, pemerintah pusat kalah dengan daerah. Peruntukan suatu lokasi, diizinkan atau tidak, ini ada pada kabupaten atau pemerintah kota,” ia menjelaskan.

Begitu juga terkait dengan kitab suci. Apakah setiap rumah tangga sudah memiliki kitab suci, atau setiap orang sudah punya masing-masing kitab suci. Bagaimana dengan era digital, apakah sudah termanfaatkan kitab suci digital bagi setiap individu.

“Ini juga penting, untuk mengukur kualitas kehidupan agama,” ia menegaskan.

Diakui jika bicara upaya meningkatkan kualitas kehidupan beragama, sepertinya pekerjaan yang tak ada puasnya. Tak ada habisnya. Namun semua itu harus dapat dilakukan dengan baik, perlu data dengan baik. Harus ada rencana aksi konkret. Sehingga data semakin rinci, lengkap dan akurat, maka data yang disampaikan akan menghasilkan keputusan yang tepat. AN-MB