Oleh: Gede Ngurah Ambara Putra, SH

Konsep Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta ini kembali menggema di Indonesia, setelah sempat tenggelam bersama jatuhnya Orde Baru pada 1998 lalu‎. Adalah Menhan, Prabowo Subianto, yang mengguliirkan kembali, awal Maret lalu, seiring merebaknya virus Covid 19. Sehingga peringatan Hari TNI, 5 Oktober, ditengah Pandemi Korona saat ini merupakan waktu yang tepat merefleksikanya.

Saat di gulirkan Konsep dan Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata), oleh Kemenhan memunculkan sejumlah kontroversi. Pro dan kontra saling bersahutan. Untuk meredakan itu Menhan sudah mengkonfirmasi kalau program Hankamrata yang digulirkan tidak identik dengan militerisasi, seperti masa Orde Baru, dan sekaligus bukan pula Wajib Militer.

“Bela negara sama sekali bukan wajib miiter, (karena) wajib militer itu kan dipaksa, (sedang) bela negara itu kewajiban yang sudah melekat di setiap warga negara, seperti tertuang dalam UU No. 34 tahun 2004,” kata Menhan, Prabowo Subianto, Maret lalu.

Menhan memberi contoh soal demonstrasi buruh yang menuntut kesejahteraan. Buruh memperjuangkan haknya harus mendapat perlindungan. Namun, kewajiban melekat buruh sebagai warga negara, untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara. Terkesan ambigu dan paradoksal.

Menyimak pernyataan Menhan, sejumlah argumen muncul. Bila konsep bela negara yang ditawarkan oleh Kemenhan tidak bersentuhan dengan TNI/militer, olah fisik dan olah strategi dan tempur, maka dapat dipastikan konsep ini “biasa-biasa saja”. Tak ada daya tariknya sama sekali. Konsep Bela Negara tak ada bedanya dengan konsep Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata) pada masa orba dulu.  Beda judul, namun esensinya sama.

Doktrin Hankamrata, yang digagas oleh A.H. Nasution, merupakan sebuah sistem pertahanan keamanan, yang melibatkan segenap komponen rakyat. Sistem pertahanan ini bersifat semesta. Melibatkan semua unsur warga negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman, sesuai dengan Undang-Undang RI No 34 Tahun 2004.

Dalam Hankamrata jelas tersurat dan tersirat bahwa setiap warga negara berkewajiban untuk melindungi negaranya dari mara bahaya. Kewajiban itu melekat dan tidak bisa diganggu gugat. Namun, harus di lakukan sesuai aturan/UU, sehingga tidak terjadi penyimpangan, seperti masa Orba!

Ilustrasi dari Menhan mengakaitkan demo buruh dengan kewajiban yang melekat malah bikin saya bingung.  Buruh menutut hak lalu dikaitkan dengan kewajiban bela negara jelas tak ada sangkut pautnya sama sekali. Hak buruh untuk mendapatkan kesejahteraan adalah mutlak di tengah harga beli yang tinggi. Apalagi kalau pendapatan mereka jauh dari UMP yang sudah ditetapkan. Posisi negara mestinya membela hak itu, bukan malah mempertanyakan kewajiban buruh terhadap negara atas nama menjaga stabilitas keamanan dan sebagainya.

Negara harus hadir untuk memperhatikan kesejahteraan buruh, bukan buruh dengan kewajiban yang melekatnya justeru memperhatikan kesejahteraan negara. Dengan cara apa buruh mensejahterakan negara? Buruh dan negara jelas dua hal yang beda. Bukan tugas buruh mensejahterahkan negara, tapi sudah pasti menjadi kewajiban negara untuk menejahterahkan mereka.

Soal kecintaan pada negara, tanpa harus ada program bela negara dan sebagainya, percayalah, semua uruh di indonesia sampai anak SD yang sudah hafal lagu “Padamu Negeri” pasti akan melakukan pembelaan jika negara mereka terancam atau diusik oleh negara lain.

Saya menduga, bela negara yang dimaksudkan oleh Menhan tak jauh-jauh dengan kewajiban warga negara untuk angkat senjata bila negara dalam bahaya. Istilah kerennya wajib militer atau semi militer. Dalam program sitematis ini warga negara dilatih fisik dan pemahaman mereka akan strategi perang dan bagaimana cara menghadapinya. Semua langkah tersebut harus partisipatif dan demokratis, bukan paksaan, serta sesuai dengan Undang-undang.

Program Bela Negara ini tentu akan disambut dengan baik oleh warga negara. Siapapun pasti akan membela negaranya negara dalam keadaan terancam. Ketika potensi ancaan mendekat, pastilah warga negara siap mengikuti program tersebut. Masalahnya, kita keadaan terancam, bukan Hankam, tapi Pandemi Covid 19, krisis dan resesi ekonomi merupakan potensi ancaman nyata, dan didepan mata kita.

Sehingga, kewajiban negara mengantisipasi dan menyambut ancaman tersebut dengan langkah nyata. Mungkin saja doktrin Hankamrata  digelorakan untuk itu. Sehingga, program Hankamrata dan Bela Negara di arahkan untuk mewujudkan disiplin protokol kesehatan warga (Prokes 3M), dan sekaligus menguji, melacak, dan mengatasi (Program 3 T). Termasuk dalam upaya pemulihan dan penguatan ekonomi kita, setelah itu baru ajak semua warga negara untuk Bela Negara dalam Sistem Hankamrata.‎ (***)