Foto Bersama Di Desa Adat Kelan Usai Penancapan Bendera ForBALI

Foto Bersama Di Desa Adat Kelan Usai Penancapan Bendera ForBALI

Badung (Metrobali.com)-

Setelah 3 hari bersepeda keliling Bali, akhirnya pada Minggu, 19 Februari 2017 sekitar pukul 17.00 wita, para Pesepeda Bali Tolak Reklamasi tiba di titik akhir ngider bhuwana, Pura Segara Desa Adat Kelan dan disambut langsung oleh Bendesa Adat Kelan. Sebagai akhir dari proses tersebut, usa melakukan persembahyangan, mereka menancapkan bendera ForBALI sebagai simbol perjuangan untuk menolak reklamasi Teluk Benoa di tengah Teluk Benoa.

 Ngider bhuwana dimulai tepat pukul 07.00 wita dari Titik Nol Kota Denpasar pada 17 Februari 2017, para Pesepeda Bali Tolak Reklamasi dari Sekretariat Bersama Sepeda (SAMAS) Bali dengan tujuan memohon agar energi negatif yang menyelimuti para penguasa di Bali dapat dibersihkan sehingga dengan bijak mendengarkan aspirasi rakyat untuk menolak reklamasi Teluk Benoa. Mereka memohon pembersihan energi negatif tersebut di Pura yang terletak di pesisir dan berhadapan langsung dengan laut diantaranya di Pura Goa Lawah, Klungkung, Pura Ponjok Batu, Pura Pulaki, Pura Jayaprana, Buleleng, Pura Rambut Siwi, Jembrana, Pura Petitenget, Pura Segara Kelan, Badung.

 Menariknya sebagian Pura yang disinggahi juga merupakan tempat persinggahan Dang Hyang Nirartha. Menurut lampiran keputusan Sabha Pandita PHDI tentang Kawasan Suci Teluk Benoa nomor 1/Kep/SP PARISADA/IV/2016, Danghyang Nirartha atau dikenal juga dengan nama Danghyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wawu Rauh terkenal sebagai tokoh suci yang menyelamatkan dan menghidupkan kembali tradisi suci Hindu dan Buddha di Bali dengan berkeliling Pulau Bali menata kembali kehidupan beragama di wilayah pesisir Bali.

Foto ditengah Perjalanan Pada Saat Istirahat (1)

Dewa Made Merthakota menjelaskan, Pura yang di jadikan tempat persembahyangan oleh para pesepeda yang sedang melakukan kegiatan ngider bhuwana memiliki hubungan spiritual dan sejarah dengan Teluk Benoa yakni sama-sama menjadi titik suci yang dilalui perjalanan suci Dang Hyang Nirartha. Pura Rambut Siwi, misalnya, Pura tersebut adalah salah satu Pura Dang Kahyangan yang didirikan oleh Dang Hyang Niratha. Sementara Teluk Benoa dan sekitarnya menjadi lokasi untuk menulis kakawin dan renungan suci, serta melakukan tapa dan yoga suci, sampai akhirnya Beliau melepas moksa di Uluwatu. “ada peran besar Dang Hyang Nirarta untuk menjaga kesucian pesisir dan laut kita, sebagai generasi yang hidup hari ini, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menjaga kesucian tersebut, sehingga kita mohon kepadaNya agar upaya  untuk merusak Teluk Benoa digagalkan, dan energi negatif yang berupaya memaksakan reklamasi Teluk Benoa di lebur”,ungkapnya.

 Pria yang akrab dipanggil Dewa Satak tersebut juga menjelaskan, dipilihnya Pura yang berhadapan langsung dengan laut karena ingin memohon kepada penguasa laut untuk membersihkan energi negatif yang menyelimuti para penguasa di Bali. “Pesisir akan menerima dampak negatif akibat adanya reklamasi Teluk Benoa oleh karena itu kami juga memohon agar rencana reklamasi teluk benoa urung dilakukan“, ujarnya. Sembari memohon agar kekotoran dan energi negatif yang ada saat ini terbuang, Ia juga memangkas habis rambutnya pada saat sedang di Pura Rambut Siwi.

 “Ini tekad saya setelah ngider bhuwana selama 2 kali, sekalian saya memohon di Pura Rambut Siwi, kepada Ida Bhatara Segara untuk melebur rambut saya bersama dengan keletehan-keletehan yang ada” ujar Dewa Satak.

Foto ditengah Perjalanan Pada Saat Istirahat (2)

 Setelah melalui perjalanan panjang ngider bhuwana, para Pesepeda menancapkan bendera ForBALI sebagai simbol perjuangan tolak reklamasi Teluk Benoa yang telah dibawa selama berkeliling Bali di tengah Teluk Benoa. Penancapan bendera tersebut menurutnya simbol untuk menjaga dan mempertahankan teluk dari ancaman reklamasi. “Kami, para penolak reklamasi siap menjaga Teluk Benoa dari upaya-upaya pihak-pihak yang akan mengurugnya, dan kami tidak pernah gentar dengan segala macam intimidasi yang dilakukan terhadap gerakan tolak reklamasi Teluk Benoa”, tegas Dewa Satak.

 Selama perjalanan ngider bhuwana, para Pesepeda mengahadapi cuaca ekstrim, bertemu panas dan hujan di sepanjang perjalanan. namun akhirnya mereka menuntaskan perjalanan selama 3 hari tersebut. Menurut Dewa Satak, keberhasilan tersebut didasari oleh semangat ngayah yang tinggi. “Semangat ngayah untuk Bali agar dijauhkan dari unsur negatif mengalahkan semuanya. Rasa lelah, panas maupun hujan kalah kami kalahkan dengan rasa jengah” Pungkas Dewa Satak.

 Sampai di titk akhir ngider bhuwana, para pesepeda BTR juga disambut oleh Bendesa Adat Kelan. Desa Adat Kelan adalah desa yang berhadapan langsung dengan Teluk Benoa dan telah menyatakan penolakannya terhadap reklamasi Teluk Benoa sejak tahun 2013. Usai menyambut para Pesepeda BTR, Bendesa Adat Kelan, menyampaikan apresiasinya terhadap kegiatan ngider Bhuwana ini, menurutnya kegiatan ini dapat dilihat dari sisi Niskala maupun Sekala. “Dari sisi niskala kegiatan ini, kita memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi dapat mengusir Dasa Mala (sepuluh sifat buruk), sehingga manusia dan alamnya dapat diberikan keselamatan, dari sisi sekala, kegiatan ini menunjukkan bahwa kita tak pernah lelah untuk memperjuangkan ibu pertiwi yaitu menolak reklamasi Teluk Benoa”, pungkas I Made Sugita. RED-MB