Kedaulatan Pangan Nasional, antara Mimpi Idealisme dengan Realitas Pahit di Lapangan
Denpasar, (Metrobali.com)
Dalam Rakernas PDI Perjuangan di Jakarta, kembali dimunculkan arti strategis Kedaulatan Pangan Nasional, isu yang selalu “naik turun” mengikuti irama perpolitikan nasional. Isu yang merupakan mimpi idealisme, sebut saja jika kita merujuk pemikiran Soekarno tentang: Ekonomi Berdikari dan juga paham Marhaenisme.
Menurut Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, “sudah tentu kita tidak bisa berbicara ide-ide besar tsb., kalau program ketahanan pangan kita labil, amat sangat tergantung pada impor, dan diketahui komoditas pangan telah menjadi tidak saja isu ekonomi, tetapi juga isu politik global.
Dikatakan, ide ide besar Bung Karno sangat terbalik dengan apa yang di lapangan. Realitas pahit kehidupan sangat dirasakan kaum, petani, buruh dan nelayan.
Dicontohkan, di waktu-waktu tertentu, Indonesia mengimpor beras, tidak ada kebijakan trobosan untuk peningkatan produksi beras secara significan, pada sisi lainnya proyek food estate ternyata gagal.
“Indonesia mengimpor Kedele sekitar 3 juta ton, kemampuan produksi dalam negeri sekitar 500 ribu ton, padahal Tahu dan Tempe telah menjadi kebutuhan pokok rakyat.Tidak ada trobosan serius dalam peningkatan produksi Kedele dan riset inovatif untuk komoditas ini,” kata Jro Gde Sudibya.
Dikatakan, Indonesia pengimpor terbesar gandum dunia, sekitar 10 juta ton per tahun, ketergantungan pangan yang sangat besar, tanpa ada program substitusi gandum dengan komoditas pangan alternatif pengganti gandum. Baik menyangkut riset dan program serius dalam deversifikasi pangan.
Menurutnya, antara mimpi idealisme kedaulatan pangan dengan realitas di lapangan, tercipta jurang lebar yang menganga -ever widening gap-, yang membuat bangsa dan negara ini, dapat digolongkan negara lunak, soft state- jika merujuk pendapat ekonom Austria pemenang hadiah Nobel tahun 1974 Gunnar Myrdal, dalan bukunya Asian Drama, Drama Kemiskinan di Asia.
“Negara lunak, negara yang bercirikan: organisasi birokrasi dan warganya tidak berdisplin, aturan hukum banyak dilanggar dan ethos kerjanya memble,” kata Jro Gde Sudibya. (Adi Putra)