Ilustrasi Bandara Bali Utara

Ini jelas kebijakan publik mantan Gubernur Koster yang UGAL UGALAN, Warga desa adat menolak jika lahan desa adat berubah status. Ini justru tunjukkan kebijakan publik yang tidak jujur, menyembunyikan regulasi yang seharusnya diketahui warga adat Kubutambahan sejak awal. Maka kegagalan proyek bandara disebabkan oleh LEADERSHIP PROBLEM.

Oleh : Dr. I Gede Sudjana Budhiasa, Forum IKMB- Kubutambahan

Sejauh yang dapat saya pantau dari vsi misi mantan Gubernur Wayan Koster yang berkaitan dengan janji pembangunan Bandara Bali utara, sampai dengan praktek mewujudkannya, sampai kemudian karena persoalan lahan desa adat Kubutambahan yang tidak dapat dibantu diselesaikan oleh pemerintah Provinsi Bali, ternyata juga lahan adat tidak dibenarkan diperlakukan pola saham seperti dijanjikan Mantan Gubernur Koster.

Kebijakan publik ini pantas disebut ugal ugalan, karena tidak dirancang dengan tahapan yang baik, mengundang rapat Desa Adat Kubutambahan yang selalu hadir, lebih dari 20 kali, selama tahun 2019 sampai akhir tahun 2020, dengan libatkan karma sebanyak 32 orang, hal yang sangat berbiaya bagi desa adat Kubutambahan, hadir ke Jaya Sabha, yang akhirnya dibatalkan dan dipindah ke Sumber Kelampok. Ini indikasi kebijakan publik yang UGAL UGALAN.

Pertama, bahwa dengan rapat lebih dari 20 kali datang ke Jaya Sabha dengan agenda yang sama sekali tidak terlalu jelas, desa adat Kubutambahan setiap hadir menghabiskan dana paling minimal 2 juta, mulai dari sewa kendaraan, sampai dengan konsumsi warga sebanyak 32 orang. Kebijakan publik yang ugal ugalan, dimana warga desa adat menjadi korban, atas tahap perencanaan yang amburadul.

Awalnya desa adat dijanjikan akan mendapatkan saham atas lahan desa adat seluas 370 Ha, belakangan setelah desa adat lakukan pengecekan ke pihak berwenang di Jakarta, ternyata ditegaskan bahwa lahan bandara wajib milik negara, tidak dapat diperlakukan sebagai saham. Ini jelas kebijakan publik mantan Gubernur Koster yang UGAL UGALAN, Warga desa adat menolak jika lahan desa adat berubah status. Ini justru tunjukkan kebijakan publik yang tidak jujur, menyembunyikan regulasi yang seharusnya diketahui warga adat Kubutambahan sejak awal. Maka kegagalan proyek bandara disebabkan oleh LEADERSHIP PROBLEM.

Kedua, tampak indikasi kebijakan publik yang ugal ugalan, adalah mengundang Menteri datang ke lokasi, sementara masalah lahan calon bandara masih bermasalah terikat kontrak. Meskipun urusan kontrak bisa diselesaikan, tetapi bahwa perubahan status lahan menjadi milik negara, adalah mengagetkan warga desa adat, yang sebelumnya hanya dijanjikan saham, dimana lahan tetap tidak berubah status.

Menyembunyikan status lahan yang harus menjadi milik negara, dapat disebutkan sebagai kebijakan publik yang tidak jujur. Bahwa kebijakan publik yang tidak jujur ini akhirnya menciptakan persepsi di masyarakat adat, bahwa mantan Gubernur Koster tidak bisa dipercaya. Maka kehilangan kepercayaan warga adat atas pemimpinnya turut serta menghambat negosiasi berikutnya antara Mantan Gubernur dengan Desa Adat Kubutambahan, meski ditutupi dengan menghadirkan menteri Perhubungan Karya Sumadi dan perangkatnya.

Ketiga, kebijakan publik mantan Gubernur Koster atas penolakan warga adat Kubutambahan (karena perubahan status lahan), meninggalkan kelelahan atas proses rapat yang panjang dengan biaya puluhan juta, akhirnya diputuskan akhir Desember 2020, bahwa bandara Bali utara dipindahkan ke lahan milik Provinsi Bali di Sumber Kelampok.

Kebijakan publik yang dilakukan mantan Gubernur memindahkan Bandara ke SUmber Kelampok, dengan mengundang kembali warga Desa Adat Kubutambahan, yang sesungguhnya adalah biaya bagi desa adat. Kesan desa adat, Koster bukan pribadi yang merakyat, bukan pribadi asal Buleleng yang lebih menampilkan kekuasaan ketimbang sambung rasa sebagai sesama warga Buleleng.

Datang mengunjungi desa Adat, bukankah silahturahmi yang baik, bahwa memindahkan bandara ke barat, bukan hal yang disesalkan oleh warga Kubutambahan. Tetapi warga Desa Adat Kibutambahan harus datang berduyun duyun hanya untuk menyaksikan kebijakan Gubernur bahwa rencana pembangunan Bandara dipindahkan ke Sumber Kelampok, itu tampak dilihat sebagai TITAH RAJA kepada rakyatnya. Warga adat Kubutambahan tentu merasa nyaman, tidak menjadi kecewa, karena terlepas dari beban kepada Ide Betara Sesuhunan yang memiliki lahan DP seluas 370 Ha tersebut.

Alhasil, mantan Gubernur seharusnya menjadi beban atas kehadiran Menteri Karya Sumadi atas pembatalan pembangunan bandara di lahan desa adat Kubutambahan, desa adat tidak ada beban, karena yang mengundang Menteri adalah mantan Gubernur Koster.

Keempat, indikasi kebijakan publik yang ugal ugalan tampak pada proses keputusan pemindahan rencana pembangunam bandara Bali utara ke Sumber Kelampok dari hasil begadang Mantan Gubernur Koster dengan mantan Bupati Agus Suradnyana.

Wawancara mantan Bupati dengan wartawan senior dari singaraja, menerangkan bahwa Koster sudah diingatkan bahwa lahan pemprov Bali di Sumber Kelampok akan dibagi rakyat yang telah menempat lahan Pemprov itu lebuh dari 20 tahun, sehingga lahan tersisa tidak cukup untuk membangun bandara dengan lahan minimal 350 Ha.

Kebijakan publik ini bisa disebut ugal ugalan, karena Gubernur sebagai pemimpin wilayah Bali tidak memanggil pihak pihak terkait yang berkompeten seperti Kantor BPN, dan para Kadis terkait dengan starus lahan prmprov Bali secara up to date, sehingga kebijakan publik ini terindikasi UGAL UGALAN, karena tidak mempergunakan struktur pemerintahan secara optimal dalam proses pengambilan keputusan, maka media telah menyebut kebijakan publik rencana bandara sebagai pembangunan bandara KEBARAT KEBIRIT.

Peringatan mantan Bupati Agus Suradnyana terbukti, akhirnya perencanaan pembangunan bandara terbukti terkendala lahan, maka peringatan media tentang Bandara yang KEBARAT KEBIRIT terbukti, di Timur mentok, di barat Terganjal, akhirnya saking putys asanya Wayan Koster, lebih baik tidak ada bandara, di bandara Kerta Jati sepi kok! Maka semangat yang tinggi untuk mengejar agar PSN tidak dicabut, akhirnya harus menerima nasib, lahan Pemprov dibagi rakyat atas perintah Presiden melalui kehadiran Bapak Moeldoko, tahun 2021, maka lahan bandara menjadi tidak cukup, hanya tersisa sekitar 280 Ha.

Kita sangat sedih memiliki pimpinan dengan leadership yang kurang cakap, dan menjadi pelajaran bagi rakyat Bali dimasa depan, untuk melihat proses kebijakan publik yang ugal ugalan ini untuk tidak terulang dimasa depan. Beberapa bulan setelah resmi rencana bandara di pindahkan ke Sumber Kelampok, yang dibumbui dengan dukungan paranormal tentang dewata nawa sanga tentang kehadiran bandara dari barat Pulau Bali, kemudian muncul kebijakan publik berikutnya tentang Jalan Toll Gilimanuk Mengwi, sebagai syarat bahwa para penguna jasa bandara Sumber Kelampok dapat mencapai Denpasar dalam hitungan kurang dari 2 jam.

Alhasil, sebagaimana telah dikupas di GEBRAKAN KEEMPAT, saat ini Toll TGM telah kehilangan fungsi rencana awal, untuk kepentingan bandara, karena bandara Sumber Kelampok sudah tidak mungkin dilanjutkan, karena tambahan lahan sebanyak 84 Ha yang dimohonkan Mantan Gubernur Koster tidak pernah turun sampai saat ini. Kalau kita sebut ini kebijakan publik ugal ugalan berikutnya, karena lahan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) adalah satwa yang harus dilindungi.

Tampak jelas kebijakan publik yang ugal ugalan, demi kucuran APBN dari PSN, aspek lingkungan nangun sat kerti diabaikan dan bahkan bertentangan dengan pelestarian satwa. Maka visi misi mantan Gubernur Koster akhirnya harus berakhir, atas ketegasan Megawati, sangat mungkin melakukan penolakan untuk menutupi ketidak mampuan kadernya dalam mewujudkan bandara Bali utara, yang penuh drama ketidak jelasan bahkan akhirnya harus menabrak taman satwa yang dilindungi dunia. Perjalanan kebijakan publik yang memalukan.