Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)

Kenaikan PPN 1 persen dari 11 persen ke 12 persen, tahun 2025, sangat memberatkan masyarakat menengah bawah yang ekonominya terpuruk, dan daya belinya sangat terbatas.

“Pengenaan pajak tidak langsung ini, indirect tax, sangat memberatkan kelompok miskin, yang menurut tolok ukur Bank Dunia, jumlahnya 40 persen penduduk, setara dengan 112 juta penduduk,” kata pengamat ekonomi dan ekonom I Gde Sudibya, Kamis 21 Nopember 2024.

Menurutnya, pemerintahan saat ini memang tidak adil. Kelompok menengah atas, begitu banyak dapat kemudahan, bahkan “dimanjakan” oleh negara: PPH Badan dari 25 persen telah turun menjadi 22 persen, rencana akan diturunkan tahun 2025 menjadi 20 persen.

“Bentuk ketidak-adilan yang nyata dari negara, negara melalui kebijakan fiscal justru berlaku tidak adil bagi warganya,” katanya.

Dari riset yang dilakukan media arus utama, tingkat efektivitas pemungutan pajak di industri sawit, hanya 50 persen, pemerintah tampaknya “tutup mata” dalam kasus ini, memberikan keuntungan bagi belasan usaha sawit yang merupakan oligarki.

Dikatakan, ketidakadilan juga muncul di usaha tambang. Belasan usaha tambang batu bara, tahun 2021 – 2022, memperoleh “windsfal profit”, yang diperkirakan Rp.1,500 T, dari hasil ekspor 1,2 miliar ton batu bara, dengan harga seputar 400 US Dolar per metrik ton, dibebaskan dari pungutan pajak.

“Kebijakan perpajakan yang “gila-gilaan” tidak adil, tidak cocok dengan janji cita-cita sosialisme, berpihak pada kepentingan rakyat yang sering disampaikan Presiden Prabowo dalam berbagai kesempatan,” kata I Gde Sudibya.

Dikatakan, kepemimpinan Presiden Prabowo dihadapkan pada “batu” ujian, dalam kasus kebijakan perpajakan yang sarat kontroversi ini.

“Publik juga ingin mendengar, pendapat ekonom senior di Partai Gerindra yang punya pengalaman :”malang melintang” dalam perumusan kebijakan fiscal dan moneter,” kata IGde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik.

Contoh kongkrit dari ketidak-adilan kebijakan perpajakan, penurunan PPH Badan dari 25 persen menjadi 22 persen, menguntungkan korporasi yang dimiliki oleh kelompok elite ekonomi, apalagi dengan rencana penurunan sampai ke tingkat 20 persen.

“Kelompok ini merupakan kelompok deposan yang punya deposito Rp.5 M ke atas. Mereka dimanjakan oleh kebijakan pajak yang menguntungkan mereka,” kata I Gde Sudibya.

Menurutnya, sedangkan ada jutaan kelompok miskin, yang tidak punya rekening tabungan di bank, kena kenaikan PPN 1 persen, dari 11 persen menjadi 12 persen.

Ironinya penurunan tarif PPH Badan, tidak menaikkan tax ratio, tetap berada di angka 9 persen. Pengamat memperkirakan, dengan design perpajakan yang tepat, pemungutan yang efektif, tanpa moral hazard, semestinya tax ratio minimal 12 persen, katanya. Sutiawan.