Ilustrasi

Jakarta, (Metrobali.com)

Kebijakan efisiensi APBN Presiden Prabowo “Diterpedo”, dianggap “Biang Kerok” PHK Besar-Besaran di RRI dan TVRI.

Menurut I Gde Sudibya ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan, rencana penghematan APBN 2025 sebesar Rp.300 T oleh Presiden, mulai terjadi perlawanan oleh birokrasi di bawah Presiden.

“Yang mencolok, rencana Dirut RRI dan TVRI merumahkan ratusan tenaga kontrak, honorer, kontributor lepas, yang menggegerkan publik. Indikasi terjadinya tindakan “mbalelo” di lembaga ybs,” kata I Gde Sudibya.

Dikatakan, arahan Presiden jelas, yang dipangkas adalah anggaran yang selama ini “dibocorkan”, boros”, tidak efektif dan efisien dan tidak berhubungan dengan kemanfaatan publik.

“Bukan merumahksn karyawan, di tengah ekonomi sulit, daya beli tertekan, dan ketidak-pastikan akan masa depan. Presiden mesti “menjewer” menteri yang membawahi RRI dan TVRI,” katanya.

Dikatakan, “Diproduksikan” move politik, mempertentangkan, membuat kontras antara program Makan Siang Bergizi, program unggulan Presiden dengan “penghematan” yang dianggap pemicu pemutusan hubungan kerja, dan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Di sini program rasionalisasi APBN Presiden Prabowo, digiring ke arah pembentukan opini publik, bahwa langkah Presiden menjadi penyebab PHK dan menekan pertumbuhan ekonomi,” kata I Gde Sudibya.

Menurutnya, di sini Presiden tampaknya berhadapan dengan musuh dalam selimut, yang membahayakan otoritas, kredibilitas dan elektabikitas Presiden.

Dikatakan, posisi politik Presiden Prabowo mengalami kerentanan, respons yang dilakukan Partai Gerindra untuk mengkounter upaya mendeskreditkan Presiden tidak lagi cukup.

Dikatakan, publik menunggu langkah berani Presiden membersihkan musuh dalam selimut, yang mengganjal program Presiden dari dalam Kabinet. Kondisi ini sangat berbahaya, karena menjadi sulit bagi Kabinet menyusun program prioritas yang fokus dan bisa dilaksanakan.

Di sisi lain, katanya investasi dalam dan luar negeri sulit terjadi, karena mereka umumnya “wait and see”, akibat pemerintahan yang belum stabil dan solid.

Jurnalis : Nyoman Sutiawan