KEADILAN UNTUK I NYOMAN SUKENA DALAM KASUS LANDAK JAWA
Oleh: I Kadek Sudiarsana, Dosen Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman
Denpasar (Metrobali.com)-
Akhir-akhir ini Bali dihebohkan dengan kasus yang menimpa I Nyoman Sukena, Masyarakat Banjar Karang Dalem, Desa Bongkasa Pertiwi, Kecamatan Abainsemal, Kabupaten Badung, Bali. Pasalnya, Sukena diduga melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alamat Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDA-HE).
Namun masyarakat menaruh simpati kasus fenomena yang menimpa Sukena, sebab menurut informasi bahwa Sukena memeliharan landak tersebut melanjutkan upaya dari mertua nya yang memelihara landak jawa itu dengan baik hingga beranak pinak yang bertujuan untuk menjaga kelestariannya.
Sukena dalam kasus ini terancam hukuman 5 (lima) tahun penjara dengan dakwaan melanggar Pasal 21 ayat 2 a Jo. Pasal 40 ayat 2 UU KSDA-HE. Adapun ketentuan pasal a quo yakni, “Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup”, sedangkan Pasal 40 ayat 2 pada prinsipnya mengatur ketentuan pidana melanggar Pasal 21 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Seratus Juta Rupiah.
Pertanggungjawaban Pidana
Bilamana dicermati berdasarkan unsur delik dalam Pasal 21 ayat 2 huruf a UU a quo maka jelas dapat dikatakan telah memenuhi unsur objektif. Sebagaimana unsur objektif dalam hukum pidana yaitu perbuatannya bersifat melawan hukum, tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam pidana, serta dilakukan dalam waktu, tempat dan keadaan tertentu, juga berkaitan dengan sifat melanggar hukum atau dikenal dengan wederrechtelijkbeid, kualitas dari si pelaku, dan kasualitas.
Jika mengacu pada dakwaan Jaksa Penuntut Umum dapat dikatakan bahwa Sukena telah memenuhi syarat objektif. Namun demikian apakah telah memenuhi unsur subyektif (strafbaarfeit)? pembuktian ini yang kemudian harus dibuktikan dalam persidangan, sehingga diharapkan Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini dapat menggali secara mendalam, apakah terdapat unsur kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa), adanya maksud atau voornemen.
Pada prinsipnya unsur subyektif ini akan lebih banyak menekankan pada apakah dalam kasus dimaksud terdapat “Mens Rea”. Adapun mens rea dalam hukum pidana adalah suatu niat jahat, unsur niat jahat menjadi penting ditelaah dalam kasus Sukena ini, sebab dalam beberapa kesaksian keluarga Sukena maupun masyarakat sekitar bahwa landak jawa tersbeut dilindungi dan dipeliharan bahkan sampai berkembang biak dengan baik.
Sebab pada dasarnya mens rea sebagaimana dalam hukum pidana inggris disebutkan bahwa actus reus yang artinya, actus non facit reum, nisi mens sit rea atau sesuatu perbuatan tidak dapat membuat orang menjadi bersalah kecuali bila dilakukan dengan niat jahat.
Ultimum Remidium
Pada era sekarang, hukum pidana telah mengalami pergeseran konsepsi dari pidana sebagai pembalasan menjadi pidana sebagai upaya rehabilitatif dan restoratif. Perubahan paradigma di dunia bahwa hukum pidana modern tidak lagi berorientasi pada pembalasan atau lex talionis sebagaimana disampaikan Guru Besar Hukum UGM Eddy O.S Hiariej, akan tetapi berorientasi kepada 3 (tiga) keadilan yaitu keadilan korektif yang berfokus pada pelaku, keadilan restoratif yang berfokus pada korban tindak pidana, dan keadilan rehabilitatif berorientasi pada pelaku maupun korban tindak pidana.
Adapun sependek pemahaman penulis bahwa pergeseran tujuan hukum pidana dari retributif menjadi tujuan restoratif dimaksudkan menjadi pedoman dasar dalam pemenuhan untuk memulihkan kondisi yang telah rusak karena kejahatan, suatu pemulihan yang berpusat pada korban dengan menekankan rehabilitasi pelaku, adanya partisipasi masyarakat serta kewajiban negara.
Dalam hal ini, sekalipun tidak ada orang yang menjadi korban melainkan negara, namun bukan berarti tidak memerhatikan upaya untuk rehabilitasi pelaku. Bahkan adagium bahwa pidana sebagai upaya terakhir dalam penyelesaian konflik, semestinya menjadi pertimbangan dalam penanganan kasus pemeliharaan landak jawa oleh Sukena tersebut, khususnya adanya peran aktif pembinaan dari BKSDA.
Pada kasus Sukena, baik Kepolisian maupun Kejaksaan tidak memberlakukan upaya keadilan restorative pada kasus dimaksud. Kajati Bali melontarkan pandangan bahwa belum dimungkinkannya Upaya RJ dalam kasus Sukena mengingat korban dalam kasus ini adalah negara dan tidak ada orang lain yang menjadi korban.
Kondisi ini mengingatkan kita pada adagium “Het Recht Ink Acter The Feiten An” bahwa hukum ketertinggalan dibelakang peristiwa, bilamana dicermati lebih lanjut, rupanya ada urgensi untuk memperluas cakupan dari pemberlakukan prinsip keadilan restoratif.
Meminimalisir Kasus Serupa
Upaya dalam mencegah terjadinya kasus-kasus serupa, seyogyanya instansi yang menaungi urusan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus lebih pro aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum, terlebih masyarakat yang minim akan informasi dan pemahaman.
Kendatipun, secara prinsip begitu suatu undang-undang itu sudah dimuat dalam lembaran negara, maka publik dianggap tahu akan aturan tersebut. Namun sekali lagi, kondisi ideal tersebut belum sepenuhnya terjadi di Indonesia, sehingga diperlukan usaha lebih aktif dari aparat dimaksud untuk mencegah kasus-kasus serupa.
Bahkan lebih jauh, semestinya dalam kasus ini BKSDA Bali melakukan proses pembinaan dengan mengambil alih untuk proses pemeliharaan maupun perawatan terhadap landak jawa yang telah dirawat oleh Nyoman Sukena bukan pemidanaan sebagai penjeraan.