Ilustrasi

“oooo tentreming ati, tentreming donya..

Bila ruang waktu berbenturan,
Bila bintang diganti satelit,
Manusia bunuh jarak,
Evolusi kehidupan makin jelas….”

Samsara, Galileo
Samsara, Galilei…”
(Samsara, W.S. Rendra, 1997)

Petikan puisi/lagu (Alm) W.S Rendra seperti sedang memberikan satu semangat dalam memaknai Hari Pahlawan. Lebih tepatnya suatu perjuangan dalam memperbaiki keadaan sekarang agar menemukan diri kita diterima dengan baik di masa depan. Bukan meniru dan mengulang ke-sengsara-an masa lalu, tapi merancang masa depan baru sejarah peradaban.

Samsara (KBBI) atau Dewanagari berasal dari istilah Sanskerta yang berarti “mengembara”, serta “dunia,” yang menyiratkan “perubahan siklus”, atau, kurang formalnya, “berlari berputar-putar.” Samsara disebut dengan istilah atau frasa seperti transmigrasi/reinkarnasi, siklus karma, atau Punarbawa, dan “siklus pengembaraan, pengembaraan, atau kehidupan duniawi yang tak memiliki tujuan”.

Orang Bali/Hindu mengaitkannya dengan Karma, atau utang masa lalu. Dimana, samsara merujuk pada upaya pembebasan, atau pelepasan Atman (Moksha) dari siklus kelahiran kembali (Punarbawa).

Sehingga, mengikuti Milan Kundera (1999): “Satunya-satunya sebab orang ingin menguasai masa depan ialah supaya bisa mengubah masa lalu,” katanya. Dalam artian, di saat ada yang buruk yang terjadi, akan selalu ada perjuangan untuk memperbaikinya. Selama ada perjuangan, selama ada tekad, selama kita mau terlibat di dalam suatu perjuangan, kita menemukan diri kita menjadi lebih baik.

Mengingat, suatu tatanan sosial masyarakat yang telah lama dikuasai dan mengalami suatu fase buruk dari segala macam agenda rezim kuasa yang datang silih berganti, yang tentu saja dapat kita pahami dan alami sampai hari ini.

Agenda rezim yang dimaksud lebih dilihat dari pola kebijakan yang meminggirkan tatanan masyarakat. Sementara pada lain sisi semakin mendukung dan membentangkan karpet merah bagi konglomerat, dengan dukungan korporasi asing seperti Blackrock, Vanguard atau Alibaba, untuk melakukan mengeruk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Dalam kondisi demikian, pelaku usaha/ bisnis malah hadir sebagai aktor yang menggerus dan merusak semua tatanan masyarakat secara habis-habisan. Kita menemukan banyak fakta tentang itu di tengah rezim baru, yang Fufufafa, Ngelandak dan Ngelantur: SingaPura2, NgHongkong, dan apalagi -kita tunggu!

Rezim yang mendaku diri paling demokratis, reformis dan merakyat justru getol mengangkangi nilai-nilai demokrasi dan warisan reformasi ketika rezim dihadapkan pada kuasa jejaring elite/oligarki, yang mengabaikan hukum dan konstitusi. Di saat bersamaan, penegakan hukum (rule of law), kebebasan berserikat, berpendapat, dan akses pemenuhan fasilitas dasar mengalami kebuntuan. Apa yang tampak kemudian ialah suatu tatanan masyarakat yang dikooptasi di bawah agenda pasar, dengan mengabaikan hak dasar/asasi warga negara.

Negara dalam kondisi demikian tidak tampak sebagai pelindung bagi kepentingan rakyat, justru menjadi rezim predator dan agen komprador yang melicinkan kuasa oligarkis tetap dominan. Dimana, kelompok oligarkis ini tidak saja mampu menguasai negara secara struktural tetapi juga secara instrumental, dalam rangka menjamin kepentingan mereka sendiri.

Dominasi oligarkis tampak dari agenda kebijakan negara, misalnya, Ibu Kota Nusantara/IKN, Omnibus law, sampai revisi Undang-Undang KPK. Sementara, masyarakat sipil dan gerakan sosial terus mengalami kebuntuan di dalam upaya merebut hak-hak rakyat yang telah lama didominasi oleh kuasa elite/oligarkis.

Di samping itu pula, sebagaimana kita saksikan dengan mata telanjang, di era paska-Soeharto, di tengah lapangan politik yang terbuka dan terbentang luas, politisi, LSM-LSM dan Aktivis kritis cenderung menjadi bagian di dalam sistem politik Indonesia, dan kehilangan daya kekritisannya. Mereka telah tersublimasi, atau menjadi apa yang dilawan, dalam irama: #GerungGorengGarong.

Semua jalan ditempat akibat dominasi kuasa oligarkis dan menguatnya agenda pasar dan minimnya upaya negara memfasilitasi pemenuhan akses terhadap kepentingan dasar/primer masyarakat. Di samping itu terjadi pula penggerusan hak-hak warga, sehingga diperlukan semacam perjuangan ‘merebut kembali’ hak-hak itu bagi kepentingan masyarakat. Karena itu, apa dan mengapa hak-hak itu dirampas dari rakyat, dan bagaimana strategi perjuangan di dalam merebut dan mengembalikan hak-hak rakyat, menjadi tugas sejarah, atau kepahlawanan baru di masa depan

Mengingat, kuasa elite oligarkis hanya bisa dilumpuhkan melalui: “Pemberontakan,” kata seorang kawan. Sejenis Perjuangan, atau “Revolusi Ilmiah”, seperti ungkapan Galileo Galilei di Abad pertengahan. Suatu yang sulit memang, tapi perlu untuk daya hidup, yang menghidupi “semua untuk semua, sampai tak tersisa untuk elite oligarkhis”!

Harus mengubah masa lalu, melalui demokrasi dan keadilan ekonomi, sosial dan budaya. Mengingat upaya untuk mengurangi dan menurunkan kuasa elite oligarkis melalui resistensi dan gerakkan sosial alternative ada dijalan buntu, alias hanya jadi pemanis, bukan merubah agenda/ kebijakan pasar. Hanya tiruan dan ulangan, atau ke-samsara-an dengan segala ketidak-adilan dan kemiskinan.

Ngurah Karyadi
Penulis tinggal di kaki gunung