“Palsu. Palsu! Dunia ini adalah palsu dan kebenaran hanya ada di langit” – Soe Hok Gie, Catatan Harian Demonstran.‎

Peringatan Soe Hok Gie relevan menandai  tahun 2020. Dengan yang palsu, setiap orang mempunyai banyak pilihan gaya untuk memperindah penampilan. Benda ini itu palsu, tapi sangat dibutuhkan. Dan, meskipun palsu, harganya mahal. Tak sembarang orang bisa membayar. Terlebih berita/video  palsu dan sensasional, pasti banyak dicari dan dipercaya.

Begitu pula gigi palsu. Tanpa gigi palsu, pengguna akan sulit mengunyah makanan. Pun bila tanpa yang palsu ini, penampilan wajahnya akan tampak buruk, ompong, dan tua: rambut palsu alias wig. Aksesori kecantikan ini banyak dibutuhkan orang, khususnya wanita. Dengan yang palsu ini, wanita mempunyai banyak pilihan gaya untuk mempercantik penampilannya.

Masih di seputar pemeliharaan kecantikan atau kegantengan, bedah plastik banyak dilakukan. Mulai dari hidung yang dipermak agar lebih mancung, bibir yang dibikin sensual, body yang sixpact, hingga bokong dibuat ala artis Holywoods. Semuanya demi penampilan diri agar tampak lebih cantik, atau ganteng.

Dalam pengertian senada dengan soal palsu-memalsu, di dunia seni juga terjadi pemalsuan karya, yang mirip dengan karya orang lain sebelumnya. “Fugazi, kata Fish, vokalis grup band, Marillion, yang sering disebut peniru grup Inggris lain, Genesis. Fugazi dari bahasa jalanan (prokem), atau slank, yang berarti palsu, dan sulit/tidak bisa diperbaiki.  Kata-kata “adaptasi” adalah ucapan standar sebagai cara berkelit yang “intelek” dari tuduhan pemalsuan.

Sepertinya, benar yang dikatakan kaum aforisme : “Seni bermula dari imitasi dan berujung pada inovasi.” Terjadi di hampir semua sektor kehidupan, merebak: Ke-palsu-an. Dengan  meniru, memalsu, atau adaptasi sebagai langkah awal untuk menciptakan yang asli dan original di kemudian hari.

Dalam dunia seni lukis, sudah biasa karya pelukis terkenal yang harganya selangit dipalsukan, ditiru mentah-mentah oleh orang-orang lain. Dan, meskipun banyak orang tahu bahwa lukisan itu palsu, banyak juga yang masih bersedia membelinya, tentu dengan harga jauh lebih murah. Tapi gengsinya sudah tentu tetap membuai.

Dalam dunia tulis-menulis, sama saja. “Keaslian itu tidak ada. Yang ada adalah ‘peniruan bijaksana’. Penulis yang paling asli pun ‘meminjamnya’ dari penulis lain “, kata Voltaire. Setidaknya, mengulang, atau mengadaptasi penulis, atau pengarang sebelumnya -mengikuti desa, kala, dan patra (Tri Semaya).

Palsu dalam arti dasar mencontoh atau menjiplak suatu barang yang asli adalah warna warni kehidupan. Kian mewarnai seiring dengan kemajuan kehidupan manusia. Ke-palsu-an akan sulit, atau bahkan tidak bisa diperbaiki.

Belum lama ini, meledak kehebohan besar gara-gara pemalsuan data rapid test/vcr, atau ditemukan peredaran vaksin palsu di beberapa daerah di Indonesia. Amarah seluruh masyarakat meruap. Pemerintah pun kalang-kabut menghadapi kenyataan brutal ini. Sebagai catatan, seperti ucapan Samuel Johnson, doktor dan penyair Inggris abad ke-18, ini: “Tidak ada orang yang hebat karena imitasi.”

Atas golongan palsu-memalsu yang negatif ini, jelas orang melihat kepalsuan sebagai kejadian yang memalukan. Ia adalah aib. “Lebih baik gagal meraih keaslian daripada sukses meraih kepalsuan,” kata Herman Melville, penulis Moby Dick, dengan semangat berapi-api.

Namun kita sering lalai akan hakikat dasar dari pelbagai kejadian dalam kehidupan, termasuk dalam soal palsu-memalsu ini. Fakta jelas menunjukkan, kepalsuan ada dalam pelbagai bidang kehidupan. Beberapa ilustrasi di atas menunjukkan bahwa tidak semuanya yang palsu itu negatif dan merupakan kejahatan.

Bahkan perilaku manusia pun tak steril dari soal kepalsuan. Senyum palsu para politikus di hadapan konstituennya. Tingkah-polah palsu para selebritas yang harus memelihara citra diri. Janji palsu seseorang yang tak setia kepada pasangannya. Tangis palsu tersangka korupsi. Kepalsuan ucapan dan perilaku ini adalah topeng kehidupan manusia yang “jamak” terjadi. Kehidupan ini diwarnai oleh topeng-topeng yang menutupi wajah asli pemakainya, yang, oleh Fish “Marillion” dinyanyikan dalam sebuah album legendaris: Fugazi.

Ke-palsu-an adalah warna warni kehidupan. Ada kepalsuan yang tak merugikan orang, ada pula yang merugikan. Terhadap kepalsuan yang merugikan orang, merugikan masyarakat banyak, tak dapat dihindari harus dilakukan penindakan hukum yang tegas. Rapid tes palsu, Vaksin palsu, kartu BPJS palsu, ijazah palsu, kuburan palsu, dan lain-lain yang memang merupakan pelanggaran hukum haruslah mendapat sanksi.

Sementara itu, area palsu-palsuan yang tak merugikan orang lain (meskipun ini bisa terus menjadi ajang perdebatan panjang), mari kita terima dengan lapang dada. Kaum bijaksana mengingatkan, “Dengan tiga metode kita belajar kearifan. Pertama, dengan memalsukan, ini yang termudah. Kedua, dengan perenungan, ini yang paling mulia.  Ketiga, dengan pengalaman, ini yang paling sulit dan pahit.”

Begitulah, kepalsuan menjadi warna warni kehidupan yang makin marak, karena ia merupakan jalan pintas. Kepalsuan adalah suatu jalan mudah dan cepat untuk meraih tujuan, terlepas dari baik-buruknya tujuan itu. Siapa hari ini yang tak suka dengan kemudahan dan kecepatan? Mengingat, “…kebenaran hanya ada di langit”‎, seperti ungkapan Soe Hok Gie.‎

*Ngurah Karyadi, tidak punya kerja tetap namun tetap bekerja.