Miguel Covarrubias' map of Bali

Oleh : Ngurah Karyadi

“Apakah ada kontradiksi dalam diri anda? Memang, ada kontradiksi diri, secara luas. Kita tengah membuat “kejadian”,

Ungkapan diatas sangat tepat menggambarkan Bali hari ini. Hampir di setiap sudut, puluhan, ratusan atau ribuan orang berhimpun di setiap “waktu, tempat dan keadaan” (Trisemaya) yang tak terduga-duga: berlapis-lapis antusiasme, bertimbun-timbun harapan, juga cemas, berbaris-baris wajah yang tak cuma menatap kaku dan pasif. Namun aktif dan hidup. Di seberang lain tidak ketinggalan, namun pasif dan tanpa roh.

Saat itu, di satu ruang  berlangsung sebuah transformasi: kemeriahan itu seketika jadi sebuah “kami”. Sebuah Kami yang siap. Sebuah Aku yang yakin. Sebuah subyek yang, dari saat ke saat, mengutuhkan dirinya. Di ruang yang lain, “mereka”  melakukan mobilisasi, bayaran dan subjek yang tidak yakin.

Di jalan-jalan protokol, halaman gedung pemerintah, dan di berbagai tempat lain pulau seribu pura berlangsung demontrasi, konser atau kemeriahan lain: “SAVE BALI”, Tolak Reklamasi, Not for Sale, Selamatkan Menjangan dan sejenisnya. Sudah tentu bukan cuma sebuah keramaian; tapi juga bukan elemen kampanye politik. Saya kira saya menyaksikan sebuah “kejadian” (multitude), dengan “rekayasa” (vulgus) dalam bahasa Dukung Reklamasi, Revitalisasi, dan sejenisnya, di seberangnya.

Dalam hal ini kata “ke-jadi-an” (dengan akar kata “jadi”). Lebih pas ketimbang kita ikut-ikutan gunakan Witman, atau Negri: “Multitudes”. Meski memang paralel, yang semula tak berbentuk seketika hadir ”tanpa digerakkan sebuah sistem, tanpa bisa dirumuskan dan dinamai” di hadapan kita.

Di sini kita tak berbicara tentang sebuah keajaiban. Yang ter-“jadi” adalah semata-mata sesuatu yang sangat langka, sesuatu yang tak bisa diuraikan dengan satu sebab dan satu akibat. Itu barangkali cirinya: tiap kejadian adalah terobosan dari tatanan sebab-akibat dan kelaziman yang biasanya berlaku. Ketika dalam politik hari ini pelbagai hal ”dukungan di parlemen, demonstrasi di jalanan, pendapat di media massa,” biasa diperdagangkan, di Benoa, Ubud, Menjangan dan di tempat lain, sebaliknya: puluhan, ratusan bahkan ribuan orang, ratusan musikus dan penyanyi, datang ke sana dan aktif di sana tanpa mendapatkan bayaran atau janji apa pun. Ketika lazimnya ribuan orang berhimpun dengan tujuan memprotes sesuatu, mengikuti Trisemaya, dari tribun, lapangan, lautan dan jalanan itu, tak ada suara marah.

Fenomen penting dalam Gerakan Selamatkan Bali #Save Benoa, Bali Not for Sale, Menjangan dan sejenisnya adalah berduyun-duyunnya ribuan relawan. Dengan segera “relawan” (dengan tekanan kembali kata “rela”) jadi bagian kosakata politik Indonesia. Sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah, dan mungkin sesuatu yang kelak akan mengubah hubungan-hubungan kekuasaan.

Tapi tak hanya itu. Fenomen lain yang penting: kreativitas dan humor, yang muncul dengan cepat dan tangkas, dari pelbagai sudut. Nyanyian “Bali Tolak Reklamasi” yang sederhana dan pas diciptakan Nostress telah menyebar dari sudut ke sudut. Para perupa menghasilkan kartun (yang terkenal, Bog-Bog dan sejenisnya), stiker, poster, desain untuk kaus, dalam variasi yang hampir tak habis-habis. Para sineas dan pembuat karya audiovisual memproduksi film pendek dalam YouTube yang cerdas dan kocak.
Seperti gambaran “Senja di Tanah  Anarkhi”, gubahan Superman is Dead (SID), yang berkecamuk dan memikat. Tak ada pusat. Tak ada komando. Tapi ada sesuatu yang terasa hadir di mana-mana: Harapan.

Sampai sekarang sebagian dari kita belum bisa sepenuhnya mengerti benar, mengapa Wayan “Gendo” Suardana, Gede Ari “Jerinx” Astina, atau Saras “Yayas” Dewi dan seterusnya, menjelma menjadi tokoh-tokoh muda, yang pandai berpidato? Mereka seolah Bung Karno yang karismatis, atau Dewi Sartika yang serius, bisa jadi fokus harapan orang banyak. Mungkin karena mereka tampil sebagai seorang pemimpin yang “muda, beda dan berbahaya”, seperti potongan syair SID.

Mereka wajah baru ketika politik Bali, yang kian mengecewakan. Tapi mungkin juga mereka, sikapnya, kerjanya, telah mengisi sebuah lambang yang selama ini kosong: tanpa harus menjadi seorang suci. Mereka jadi lambang pemimpin yang “baik”, yang justru tampak sebagai manusia biasa, yang tak istimewa.

Apa itu “baik”? Tak bisa dirumuskan. Tapi “yang-baik” itu sebenarnya hadir tiap hari dalam pergaulan manusia, ”kita mengenalnya dalam pertolongan dan pemberian yang ikhlas” dan sebab itu bukan keajaiban. Hanya, ketika pada suatu masa “yang-baik” itu terasa hilang, ia berubah jadi harapan yang intens. Juga sesuatu yang universal.

Hampir setiap saat, di jalanan, gedung pemerintah atau ditengah samudra, dalam gairah ribuan orang itu, yang universal sejenak singgah. Bukan dari langit, melainkan dari debu jalanan yang melekat di keringat orang yang berharap. Sebuah “Kami” pun lahir. Tapi pada saat itu, sebenarnya bukan hanya “Kami”, melainkan juga “Kita”.

Kita menyaksikan kejadian itu. Kita  tak bisa merumuskannya, dan mungkin kejadian ini bukan sesuatu yang bisa dirumuskan secara tetap. Tapi bagaimanapun, setiap desa, kala patra, kita saksikan bahwa politik, dengan akar kata polis (“kota” atau “negeri”), tak hanya satu wajah. Politik bukan hanya sebuah ketegangan dengan “Mereka”. Namun sebuah “Kejadian” guna menjebatati “Kami” dengan “Mereka”, menjadi “KITA”. JAN-MB