Oleh : Ngurah Karyadi

Beberapa tahun belakangan, pemerintah memang menggunakan para pesohor (Influencer) untuk menggaet partisipasi masyarakat dalam setiap kebijakan atau program. Sebut saja school/work from home, promosi pariwisata di tengah pandemi, temasuk program vaksinasi Covid 19 -yang berkembang jadi rasisme di Papua.

Terkini, pemerintah. melibatkan influencer dalam upaya pencegahan paham ekstremisme yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024. ‎

F‎enomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Fenomena seperti ini, diawali dari fenomena geger budaya, atau ‎shock culture pada media sosial, yang berakhir pada penggunaan media ‎influencer. Pemerintah seakan berpacu diantara “ke-geger-an dan ke-ge’er-an”.

Harus diakui, pemerintah di seluruh dunia mengalami Ke-geger-an Budaya atau shock culture. ‎ Sehingga kebijakan pun kebijakan shock culture. Ini menganggap suatu penyampaian kebijakan yang memakai dunia digital media sosial itu akan selesai dengan menggunakan influencer. Ada sejumlah alasan mengemuka.

Pertama, media sosial dianggap pemerintah sebagai sarana yang cocok untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dapat dicontohkan, bagaimana Presiden Amerika Serikat ke-45, Donald Trump yang lebih memilih menggunakan media sosial Twitter untuk berbicara kepada masyarakatnya daripada media resmi.

Culture shock media sosial ini menandakan bahwa ‎yang namanya media sosial lebih mempengaruhi ketimbang media apa pun juga, termasuk media massa, yang sekarang rata-rata ‘hidup segan mati tak mau’.‎ Selain itu, dinilai bahwa media yang bersifat kelembagaan atau organisasi saat ini sudah tidak efektif. Dengan demikian, pemerintah di seluruh dunia lebih memilih menggunakan media sosial.

Alasan kedua, terkait kondisi Indonesia tengah mengalami krisis kepercayaan (trust crisis) yang terus berlangsung pasca-reformasi. Hal ini terjadi karena adanya perubahan sistem politik dari yang sangat kaku mengekang, menjadi sistem politik yang sangat liberal.‎ Dimana, pasca-reformasi, yang namanya lembaga pemerintah semakin mengalami krisis kepercayaan di dalam masyarakat.

Di sisi lain, hal ini membuat pemerintah dinilai tidak mampu memenuhi atau menghilangkan rasa ketidakpastian yang ada di masyarakat. Padahal, ada teori bernama ‘uncertainty reduction theory’, yang mengatakan bahwa sebuah informasi hanya diterima apabila mampu menghilangkan ketidakpastian. Kebijakan PSBB, PPKM, atau apalah sebutnya dapat dijadikan contoh, alih-alih mendisiplinkan Prokes warga berpacu dengan elite yang tidak disiplin/Preman.

Kita ketahui, ketika masyarakat menghadapi yang namanya krisis, pemerintah lalu berbicara, ternyata krisis pun tidak selesai. Sekarang kita hadapi pandemi corona, pemerintah juga menjelaskan, tapi ternyata tidak jelas juga -tanpa keteladanan. Bahkan vaksin pun juga begitu.‎ Oleh karena itu, adanya krisis kepercayaan tersebut membuat pemerintah akhirnya memilih media influencer ketimbang perangkat organisasi pemerintahan yang dimiliki.

Apa pun pemerintah mempunyai instrumen kelembagaan yang resmi ketika digunakan untuk mereduksi atau dalam mengurangi ketidakpastian di masyarakat.‎ Penggunaan media influencer seperlunya saja. Hal ini mesti dilakukan, agar ‎government trust tidak terus tergerus oleh masyarakat.

Hal ini karena apabila terjadi kesalahan informasi yang diberikan, atau prilaku yang dicontohkan masyarakat akan lebih menyoroti kebijakan pemerintah, sang penentu, bukan influencer. Kasus suntik vaksin Raffi Achmad mesti dijadikan pelajaran.

Pemerintah itu istilahnya “jangan mau mukul pinjam tangan”, dan sekaligus mau lepas tangan apabila ada masalah yang bersifat itu tidak obyektif, tidak akurat, dan seterusnya. Sama dengan pemerintah memindahkan tanggung jawabnya apabila ada krisis trust selanjutnya kepada influencer. Ini tidak pada tempatnya.‎

Ketiga, harus diakui kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang memang lebih cocok menerima pesan dari media influencer. Hal ini karena masyarakat Indonesia yang cenderung memiliki rasa ingin tahu yang besar, dalam segala hal. Dalam artian, masyarakat Indonesia dapat menerima informasi apabila dilakukan secara instan dan diselingi dengan hiburan atau entertainment. Terlebih, instant influence ini dapat dilakukan oleh para influencer yang rata-rata mereka diberkahi oleh wajah yang cantik, tampan, kemampuan berbicara yang indah.

Namun, tidak pada tempatnya pemerintah pilih influencer ketimbang yang lain-lain. Terlebih dengan berbagai ke-ge(g)er-an yang terjadi karenanya. Negara dan perangkatnya harus hadir di tengah berbagai krisis, bencana dan ketidakpastian dalam masyarakat.

Tentang Penulis

Ngurah Karyadi, bukan pekerja tetap, tapi tetap bekerja