Oleh: Ngurah Karyadi

Kaum tanpa klass (class-less) memang kelompok yang selalu salah dan kalah, atau dikalahkan tepatnya. Petani tak bertanah, tunawisma, pengemis, pemulung, pemabuk, atau pun pekerja seks senantiasa disingkirkan secara sosial. Mereka tidak terdaftar sebagai penerima bantuan sosial/BLT, bahkan di masa krisis, atau pun Pandemi Corona saat ini.

Secara diam-diam, kaum tanpa klass hendak dihilangkan secara sosial, sebab mereka bukan subyek produksi sosial. Mereka pun dikucilkan secara sosial dan dibiarkan telanjang dan rapuh tanpa perlindungan sosial. Alasannya sederhana. Kaum ini bukan buruh upahan sehingga tidak ada pajak dan premi yang dapat ditarik untuk jaminan/asuransi sosialnya.

Alih-alih perlindungan, mereka justru mengalami pengejaran, penangkapan, dan berbagai bentuk rehabilitasi semu. Bukan memperbaiki, malah hanya memperburuk keadaan. Penulis coba buat manifesto pembelaan terhadap kaum ini. Kaum yang sudah cukup lama dilarang berharap di republik ini.

Dipersetankan
Demonisas, atau penyetanani atas kaum tanpa klass tidak dapat dilepaskan dari filosofi tentang buruh, kerja, dan nilai. Marx menganggap kaum ini sebagai parasit sosial yang merugikan. Di satu sisi, kaum ini dianggap kelompok berbahaya,  parasit sosial yang tidak produktif. Petani tanpa tanah, pekerja seks, preman, dan sejenisnya adalah kelompok yang membahayakan secara politik karena tidak terorganisasi, tak dapat diprediksi, dan cenderung reaksioner. Kata ”lumpenproletariat” pun dipakai untuk mendemonisasi, atau mempersetankan kaum ini secara keseluruhan.

Di sisi lain, kaum tanpa klass dianggap tenaga cadangan bagi industri. Kaum ini adalah tenaga cadangan yang sementara tidak bekerja, tetapi sewaktu-waktu dapat diintegrasikan ke dalam produksi industrial. Sebagai tenaga cadangan, karenanya dianggap ancaman permanen bagi kelas pekerja atau buruh. Pertama, penderitaan yang dialami kaum tanpa klass ini menjadi contoh yang mengerikan kepada buruh, mengenai apa yang juga dapat terjadi atas mereka saat PHK misalnya. Kedua, kaum ini adalah kelebihan pasokan tenaga kerja, yang dapat menurunkan upah dan sekaligus posisi tawar buruh terhadap majikan.

Penulis menolak sangkaan (premis) Marx mengenai kaum tanpa klass ini. Ikuti ‎Antonio Negri (Multitude, 2004), ada sejumlah katagori. ‎Pertama, tenaga cadangan industri sesungguhnya sudah tidak ada lagi, mengingat buruh tidak lagi membentuk kesatuan yang padat dan menyatu (koheren). Buruh industri saat ini hanyalah satu jenis kerja di antara berbagai jenis lainnya di dalam jejaring yang dimaknai oleh paradigma material. Keterbelahan sosial antara buruh dan penganggur menjadi semakin sumir. Di epos pasca-Fordisme seperti sekarang tidak ada lagi pekerjaan yang stabil dan terjamin. Tidak ada pekerjaan yang aman, segalanya bersifat tentatif, kontrak, outsource, dan musiman.

Kedua, tidak ada ”cadangan” dalam pengertian tenaga kerja yang berada di luar proses produksi sosial. Petani tak bertanah, pengangguran, pemabuk, pelacur atau tunawisma pada dasarnya subyek yang berperan aktif dalam produksi sosial meski tidak diupah. Mereka bukan tidak melakukan apa-apa. Strategi yang mereka lakoni untuk bertahan hidup sungguh luar biasa, yang perlu kreativitas dan sumber daya.

Di tengah Pandemi Corona, petani tak bertanah di sebuah desa di Bali, misalnya, membuat kesepakatan tidak menjual hasil pertanian mereka di atas tanah negara berstatus perkebunan, atau hutan, untuk cadangan, atau bahkan membantu mereka yang kena PHK. Strategi “rakyat bantu rakyat” bukan sekadar produksi dan cadangan pangan, melainkan juga hubungan sosial berbasis afeksi dan solidaritas. Terlebih di saat pandemi Colornona, dimana “penguasa  bantu pengusaha”, dengan buka kran impor, bandara, pelabuhan, sampe gunting pita buka mall.

Solidaritas alamiah
Kaum tanpa klass adalah antagonisme di dalam kelas buruh. Kelas buruh mematok ”kerja” sebagai kerja upahan, dan mengecualikan mereka yang tanpa tanah, penganggur, atau tunawisma. Pengecualian ini terwujud dalam logika asuransi sosial. Asuransi sosial berprinsip pada kemampuan membayar (ability to pay). Mereka yang tidak mampu membayar pajak dan premi berupa potongan dari upah, tidak mendapat asuransi. Dengan kata lain, petani tak bertanah, penganggur, tunawisma, dan kaum miskin kota, tidak berhak mendapat bantuan tunai, atau sosial karena tidak berupah.

Padahal, mereka yang tidak berupah tidak dapat dikatakan tidak bekerja. Mereka adalah agen yang turut menyumbang pada kekayaan sosial yang tak terukur. Petani tak bertanah yang tetap berupaya memproduksi afeksi sebanyak-banyaknya bagi sang anak adalah kontributor serius bagi kenaikan kekayaan sosial tersebut. Pemulung bukan sekadar memunguti barang bekas, melainkan menciptakan kebersihan lingkungan bagi semua. Kaum tanpa klass sesungguhnya menggenggam kekuatan yang cukup besar untuk menentang kapitalisme. Sebab, apa yang mereka produksi tidak dapat sepenuhnya diukur dan dirampas oleh sistem kapitalisme.

Kaum tanpa klass berhadapan langsung dengan kapitalisme, yang berusaha mempribadikan produksi dan kekayaan sosial mereka. Eksploitasi kapitalistik dewasa ini adalah privatisasi sebagian atau seluruh nilai yang diproduksi secara kolektif. Solidaritas dan komunikasi pada dasarnya adalah ”yang sosial”. Namun, kapitalisme berhasil memprivatisasinya.

Saat kita berobat ke rumah sakit swasta internasional, kita mendapati pelayanan afektif berlebihan. Itu bukan disebabkan sikap bawaan para pelayan kesehatan, melainkan karena rumah sakit mengorganisasi produksi afeksi secara ekonomistik. Pantai yang tadinya arena bermain publik bagi anak- anak sekarang dipagari jadi pantai pribadi milik hotel-hotel internasional. Kebahagiaan, kesehatan, perkembangan budaya anak-anak sekarang menjadi urusan pribadi, bukan lagi sosial.

Sebagai ancaman serius kapitalisme, kaum tanpa klass lantas dijinakkan. Ada dua opsi yang diambil kapitalisme. Pertama, kaum ini diintegrasikan secara paksa ke dalam proses produksi kapitalistik. Mereka diberi baju buruh upahan yang dapat diorganisasi dan dikendalikan. Kedua, kapitalisme memperberat syarat perekrutan sehingga kaum tanpa klass tetap melata di jalan-jalan menunggu mati. Kapitalisme juga memakai tangan penguasa untuk menyingkirkan mereka secara sosial. Logistik bukan persoalan. Kapitalisme punya cadangan dana sosial yang dalam bahasa sekarang disebut ”tanggung jawab sosial perusahaan” untuk menjinakkan kaum ini.

Kaum tanpa klass adalah kelompok yang sudah cukup lama dibisukan secara politik. Tak ada parpol yang sungguh memperjuangkan mereka. Sebab, mereka bukan isu politik yang laku dijual. Pekerja rumah tangga misalnya, dianggap berada di luar logika buruh upahan-industrial. Akibatnya, rancangan undang-undang pekerja rumah tangga (RUU PRT) pun dikeluarkan dari program legislasi nasional. Segenap marginalisasi tersebut perlu dilawan secara politik.

Sudah saatnya kaum tanpa klass melepaskan diri dari jerat ganda kapitalisme-negara dan memaklumatkan diri sebagai subyek politik yang berdaulat di masa pandemi virus (Vulgus, Negri) ini. Kekuatan produktif dan sosial mereka adalah modal untuk membentuk apa yang Antonio Negri sebut sebagai “multitudo”. Multitudo adalah kekuatan sosial yang cair, tetapi dahsyat sehingga tak mudah ditundukkan oleh dominasi kapitalisme-negara. Dengan kekuatan itu, kaum tanpa klass mampu menjadi subyek politik dan merebut harapan dengan tangan mereka sendiri. Kaum tanpa klass sedunia, bersatulah!

*Petani dan penulis lepas