Ilustrasi-Gedung Mahkamah Agung

Jakarta, (Metrobali.com)-

Mahkamah Agung (MA) telah menolak kasasi terpidana I Made Sumantra (IMS) dalam sidang kasus ahli waris mendiang Frans Bambang Siswanto (FBS). Keputusan itu tertuang dalam situs resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) MA.

Dalam putusan itu disebutkan Nomor Register 719K/ PID/ 2019, pengadilan pengaju Denpasar, dengan nomor surat pengantar W24.U1/ 3774/ HK.01/ 05/ 2019, dengan jenis permohonan K, jenis perkara PID dan klasifikasi yaitu keterangan palsu. Secara otomatis, kasus IMS telah berkekuatan hukum tetap alias inkrah (inkracht van gewijsde).

Ahli hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta, Andi Syafrani mengatakan bahwa putusan tersebut harus segera dieksekusi oleh jaksa karena sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

“Dengan adanya putusan kasasi yang menolak permohonan IMS selaku terdakwa, artinya putusan tersebut sudah inkracht, maka tentu putusan ini harus segera dieksekusi oleh Jaksa setelah nanti salinannya diterima oleh para pihak,” ujar Andi saat dihubungi, Senin (28/10/2019).

Terkait dengan sengketa perdata terkait keabsahan kepemilikan tanah yang sedang berlangsung, menurut Andi, tentu saja pihak-pihak yang berperkara bisa menjadikan putusan pidana yang sudah inkracht sebagai salah satu bukti.

Andi menambahkan, hasil putusan MA secara otomatis memperkuat posisi ahli waris FBS dalam sidang kasus ahli waris mendiang Frans Bambang Siswanto (FBS).

“Berdasarkan putusan pidana yang ada, posisi pemilik awal, FBS, lebih diuntungkan dengan adanya putusan tersebut dalam sengketa kepemilikan,” bebernya.

Akan tetapi dalam sengketa perdata, lanjut Andi, masih terbuka ruang adanya perdamaian melalui mediasi hingga sebelum putusan. Jika memang para pihak bisa mencari jalan yang menguntungkan para pihak, maka bisa saja perkara perdata tersebut berujung damai melalui mediasi. Apalagi adanya pihak intervensi, Hotel Mulia, yang seharusnya bisa menjadi pihak mendorong perdamaian agar sengketa ini tidak merugikannya.

Andi juga menyayangkan sikap hakim PN yang seperti memaksa perkara perdata tetap dilanjutkan meski pihak penggugat sempat mengajukan pencabutan perkara. Ini merupakan tindakan aneh dan patut disorot.

“Hakim seharusnya bersikap pasif dalam perkara, bukan mendorong perkara lanjut. Agar perkara ini bisa berjalan fair karna melibatkan pihak korporasi besar, maka sidang harus diawasi publik dan juga pihak KY agar putusannya bisa mencerminkan keadilan sesuai fakta persidangan,” pungkasnya.

Kasus ini berawal dari FBS sekitar tahun 1991 membeli lahan di daerah Pantai Geger, Kuta Selatan Badung, seluas 1,1 hektare. Aset FBS itu diatasnamakan I Made Sumantra (IMS) dengan perjanjian dan kuasa yang menyatakan aset itu milik FBS. Sertifikat tanah pun dipegang oleh FBS.

Namun, IMS yang memegang foto copy sertifikat itu, mengajukan sertifikat asli BPN dengan dalih hilang. BPN akhirnya menerbitkan sertifikat asli. Setelah memegang sertifikat asli, IMS menjual tanah tersebut ke Hotel Mulia.

Dengan demikian, posisi Hotel Mulia yang membeli tanah dengan sertifikat palsu turut terancam. Pengacara Hotel Mulia, Haris Nasution memilih untuk tak banyak bicara dan melempar ke pihak IMS.

Pengacara IMS, Wayan Tang Adimawan berdalih belum mengetahui kasasi yang ditolak MA. Dia mengaku belum memegang putusan dari MA.

“Kami belum bisa menjelaskan, malahan kami tahunya belum atas putusan kasasi. Mari tunggu sama – sama,” tutur Tang Adimawan, saat diwawancara usai sidang perdata di PN Denpasar, Senin (21/10/2019).

Editor : Hana Sutiawati