Kasus LANDAK yang Lagi Viral, “No Viral, No Justice”
Denpasar, (Metrobali.com)-
Di Bali, pemelihara LANDAK Sukena mengalami proses hukum dan bisa kena hukuman penjara. Gambaran ini jelas menunjukkan fenomena penegakan hukum yang “tajam ke bawah, tumpul ke atas”.
Hal tersebut dikatakan I Gde Sudibya, pengamat budaya kontemporer, Rabu 11 September 2024.
Dikatakan, dari para ahli zoologi diperoleh pengetahuan, keunggulan alami yang dimiliki binatang ini: kepekaannya yang tinggi terhadap lingkungan yang mengancam, memberikan respons cepat terhadap ancaman yang dihadapi, plus jangkauan pandangannya yang jauh ke depan.
“Di sejumlah sekolah bisnis ternama dunia, termasuk di Havard Budiness School, studi kepemimpinan bisnis, merujuk kepada keunggulan komparatif yang dimiliki LANDAK, sehingga lahir kajian tentang keunggulan kompetitif kepemimpinan bisnis yang berciri kuat: kepekaan tinggi dalam menditeksi perubahan lingkungan bisnis dan meresponsnya secara cepat,” kata I Gde Sudibya, pengamat budaya kontemporer.
Selain itu, lanjutnya, komparatif Landak Plus, ketajaman perumusan visi, dengan program aksi terukur, lengkap dengan kecerdasan implementasi (XQ), dengan tolok ukur akurat, KIP (Key Performance Indicators).
Dikatakan, fenomena LANDAK ini, jangan-jangan merupakan kritik terhadap masyarakat yang tidak lagi punya kepekaan rasa terhadap lingkungan, nyaris (maaf) menyerupai Togog (meminjam istilah seorang rokhaniwan), berpikirnya jangka pendek (shorterism), “aji mumpung”, sikap mental “menerabas” (meminjam istilah antropolog ternama UI Prof. Kontjoroningrat).
“Barangkali Alam telah memberikan signal (sasmita) agar masyarakat lebih berefleksi dan mawas diri,” katanya.
Menurutnya, akronim inovatif dari seorang netizen ini, bisa memberikan sedikit penggambaran terhadap fenomena LANDAK yang Lagi Viral, melahirkan aksi sosial terhadap Sukena, untuk dibebaskan ancaman hukuman, dari proses hukum yang tidak berkeadilan.
“Mengambil moto zaman now: “no viral no justice”, tanpa kesadaran umum (di medsos), keadilan yang menjadi nyaris mustahil,”.
Kenapa? Karena aturan hukum dan penerapannya, semakin menjauh dari etika moral, yang seharusnya menjadi landasan filosofis, prinsip dasar dalam perumusan aturan hukum formal.
“Sasmita, yang semestinya masyarakat berbenah, terutama tuan dan puan penguasa di bidang hukum, terlebih-lebih para hakim, yang dalam amar keputusannya menyebutkan (kurang lebih), “atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa,” katanya. (Sutiawan).