film

Jakarta (Metrobali.com)-

Kamar Dagang dan Industri Indonesia masih terus menghimpun masukan dari berbagai pemangku kepentingan di industri perfilman nasional terkait usul pembatasan film impor.

Wakil Ketua Umum Bidang Industri Kreatif dan MICE Kadin Indonesia Budyarto Linggowiyono di Jakarta, Senin (9/3), menyatakan hingga saat ini Kadin belum mengeluarkan sikap mengenai usul pembatasan film impor yang belakangan diwacanakan sejumlah pihak.

Menurut dia, pihaknya masih menghimpun masukan, baik dari para pelaku usaha, instansi pemerintah, maupun stakeholders, seperti Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), para distributor, importir film, dan sebagainya.

“Masukan tersebut kemudian dibahas bersama di tingkat Komite Tetap (Komtap) dan dikoordinasikan dengan Komtap terkait lain. Hasilnya juga akan ‘di-share’ ke semua pihak,” kata Budyarto.

Sebelumnya, Ketua Komisi Tetap Film, Video, dan Fotografi Kadin Indonesia Rudy Sanyoto, menyampaikan usulan mengenai pembatasan film impor dengan alasan bisa meningkatkan meningkatkan pula kualitas film Indonesia dan jumlah penonton.

Tetapi berbagai pihak mulai dari GPBSI, komunitas penonton film, hingga kalangan sineas, aktor bahkan, pengamat film menentang usulan tersebut.

Pengamat film Arswendo Atmowiloto menilai, usulan tersebut bukan hanya tidak tepat namun juga menggunakan logika yang terbalik yang mana seharusnya, penguatan dilakukan ke dalam terlebih dahulu, baik dari peningkatan kualitas para sisi sineas, maupun kemudahan termasuk perizinan dari sisi pemerintah.

“Jika persoalan itu sudah diatasi, masalah film impor akan mudah. Bahkan bisa tersisihkan dengan sendirinya, karena animo penonton nasional akan meningkat,” katanya.

Budyarto Linggowiyono menyatakan, KADIN Indonesia memang tidak terburu-buru menyampaikan pernyataan sikap resmi final terkait perfilman, karena hal itu tidak lepas dari kenyataan, bahwa produk film memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan hasil produk industri kreatif lainnya.

Dalam industri film, lanjutnya, yang diimpor adalah hak edar atau hak tayang untuk waktu dan wilayah terbatas untuk itulah KADIN Indonesia tidak bisa menafikkan bahwa pengembangan industri perfilman selalu terkait dengan hak publik untuk menonton film dan fakta bahwa penonton adalah satu-satunya khalayak sasaran setiap produk film.

“Seiring majunya teknologi informasi dan komunikasi, bila hak-hak itu terlalu dibatasi akan timbul problem baru, seperti maraknya pembajakan film, dan protes bahkan boikot dari berbagai pihak yang pada gilirannya justru menghambat perkembangan film nasional itu sendiri,” kata Budyarto.

Kadin Indonesia, tambahnya, juga menyadari bahwa Indonesia memiliki komitmen terkait bea impor film. Untuk itu, Budyarto menegaskan, bahwa jangan sampai masalah film impor malah bertentangan dengan WTO Valuation Agreement, khususnyaPasal 8 ayat (1) huruf c dan interpretative note-nya.

“Mengunci keran film impor bukan solusi. Masih terbuka kemungkinan berbagai pilihan bentuk insentif bagi pengembangan perfilman nasional,” kata Budyarto. AN-MB