Sudirman M. Rusdi

Jakarta (Metrobali.com)-

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) saat ini tengah berupaya membentuk sebuah lembaga pembiayaan khusus yang mampu menaungi kebutuhan sektor industri.

Sikap tersebut dilatarbelakangi kenyataan bahwa salah satu kendala yang dapat menghambat tercapainya pertumbuhan sektor industri ialah rendahnya daya saing nasional.

Sedangkan yang mempengaruhi daya saing nasional salah satunya disebabkan mahalnya pembiayaan investasi di dalam negeri, akibat tingginya suku bunga perbankan yang tidak kompetitif.

Oleh karenanya, Kadin mengimbau pemerintah agar segera membentuk lembaga pembiayaan khusus industri, karena terkait dengan usaha meningkatkan daya saing nasional.

“Kita harap pemerintah segera membentuk (lembaga pembiayaan khusus), sudah diamanatkan di UU no.3 tahun 2014 tentang perindustrian,” kata Wakil Ketua Umum Kadin bidang Perindustrian Sudirman M. Rusdi di Jakarta.

Dalam sebuah seminar bertajuk “Pembiayaan Investasi di Bidang Industri” ia menjelaskan, UU tersebut mengamanatkan agar dibentuk lembaga yang berfungsi sebagai lembaga pembiayaan investasi di bidang industri.

Sedangkan pembentukan lembaga pembiayaan tersebut juga telah diatur dalam UU tersendiri, yaitu UU Lembaga Pembiayaan Pembangunan Industri yang saat ini sedang disiapkan pemerintah untuk disahkan oleh DPR-RI, ujarnya menambahkan.

Ia berpendapat lembaga pembiayaan khusus industri selama ini sudah ditunggu-tunggu keberadaannya oleh para pelaku usaha dan dinilai dapat menjadi angin segar untuk meningkatkan daya saing.

“Lembaga ini memang dirancang sesuai kebutuhan pelaku usaha. Misalnya pembiayaan yang kompetitif, yang lebih murah jika dibandingkan bunga bank komersial baik untuk keperluan investasi atau modal kerja,” tuturnya.

Selain itu lembaga tersebut juga mampu memfasilitasi skema pembiayaan tertentu untuk restrukturisasi industri prioritas atau strategis dan industri antara yang masih belum berkembang di dalam negeri.

“Sektor industri sebagai penggerak utama ekonomi memang butuh pembiayaan jangka panjang yang kompetitif untuk investasi dan modal kerja yang relatif sederhana dan suku bunganya pun rendah,” ujar Sudirman.

Lebih lanjut ia mengatakan, kondisi kredit perbankan komersil perbankan menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan industri di Indonesia.

“Pembiayaan masih bergantung ke sektor perbankan, yang sumbernya dari dana pihak ketiga berjangka pendek. Ini ditengarai jadi titik lemah dan menghambat industri,” kata Sudirman.

Menurut dia, akibat dari kondisi tersebut ialah suku bunga yang tersedia untuk sektor industri nasional adalah suku bunga komersil.

Melalui skema kredit suku bunga perbankan dan dengan segala ketentuan yang berlaku, hal itu diduga menjadi titik lemah pengembangan dan pertumbuhan investasi bagi industri di Indonesia.

“Dengan adanya lembaga pembiayaan industri diharapkan daya saingnya bisa ditingkatkan. Sehingga bisa menyaingi negara-negara industri di Asia yang menjadi pesaing kita,” tuturnya menjelaskan.

Ia mengatakan hingga saat ini masalah pengembangan industri ialah belum tersedianya sebuah lembaga khusus yang bergerak dalam pembiayaan sektor industri.

“Kita belum punya lembaga seperti itu. Jika dibandingkan dengan negara pesaing seperti Korea Selatan, India, Thailand, dan lainnya, mereka sudah punya,” tukas Sudirman.

Masih tinggi Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perbankan dan Finansial Rosan P Roeslani mengatatakan suku bunga pinjaman perbankan yang diberikan kepada sektor industri masih terlalu tinggi.

“Perbankan memberikan pinjaman di Indonesia dengan suku bunga yang masih tinggi jika dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya,” ujar Rosan di Jakarta.

Pada kesempatan yang sama ia memaparkan bahwa suku bunga pinjaman di Indonesia berada pada kisaran 12 persen.

Negara ASEAN lain memiliki suku bunga yang lebih rendah, seperti Thailand 6,5 persen, Filipina 5,5 persen, Singapura lima persen, Malaysia 4,5 persen, atau Korea Selatan kurang lebih 4,2 persen.

“Dengan kondisi demikian, kita memang membutuhkan alternatif pembiayaan untuk industri yang sifatnya bunga lebih rendah dan berjangka waktu lebih panjang,” tutur Rosan.

Melalui instrumen lembaga pembiayaan yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut maka sektor industri bisa tertolong dalam urusan pengembangan investasi dan penyediaan modal.

Berdasarkan data dari Bank Indonesia pada tahun 2014 pembiayaan perbankan terhadap sektor industri mencapai Rp650,9 triliun, atau sekitar 25 persen.

Untuk sektor pembiayaan tertinggi diberikan pada bidang perdagangan, perhotelan, dan rumah makan yang memiliki persentase mencapai 30 persen.

“Sektor industri Indonesia akan mengalami tantangan yang semakin berat karena kurangnya sumber pembiayaan yang kompetitif. Karena itu harus ada upaya strategis untuk menjamin ketersediaan pembiayaan,” ujarnya.

Pembiayaan pembangunan sektor industri menjadi sangat penting karena industrialisasi dapat menjadi kunci keluar dari “middle income trap”.

Keberhasilan sejumlah negara terhindar dari “middle income trap” ini adalah industrialisasi yang konsisten dengan berbagai dukungan atau arahan kebijakan dan fasilitas.

Belum jelas Rosan menilai bahwa saat ini “roadmap” (peta jalan) sektor industri nasional masih belum mempunyai kejelasan.

“Di negara-negara industri maju, mereka sudah punya ‘roadmap’ yang jelas dari awal. Sehingga apa yang dikerjakan sesuai dengan rencana itu,” tuturnya.

Menurut dia, melalui “roadmap” yang dirancang dengan matang, pemerintah mampu mengintegrasikan segala sektor yang berkaitan, sehingga bisa mewujudkan ketahanan industri yang lebih kuat.

Pemerintah bisa mensinergikan lembaga pembiayaan khusus untuk mendukung pengembangan sektor industri, yang selama ini dianggap kurang membantu kinerja sektor industri dalam aspek pinjaman pembiayaan.

Ia mencontohkan sejumlah negara yang bisa ditiru karena memasukan lembaga pembiayaan investasi industri dalam “roadmap” mereka ialah Jepang atau Korea Selatan.

Misal “roadmap” industri di Korea Selatan tahun 1962 hingga 1966 difokuskan pada produksi semen, pupuk, dan migas. Kemudian tahun 1967 hingga 1971 difokuskan pada industri baja, dan terakhir di industri elektronik, mesin, dan mobil.

Melalui “roadmap” tersebut, lembaga pembiayaan industri yang dibentuk bisa menyesuaikan kinerjanya sesuai sektor yang sedang difokuskan oleh pemerintah.

“Jika sekarang, misalnya, pemerintah mau memfokuskan pembangunan di sektor kemaritiman maka pembiayaan industri juga harus diarahkan ke sektor tersebut,” tukasnya. AN-MB