Kabinet “Gemuk” Merah Putih, Jebakan dan Tantangannya
Denpasar, (Metrobali.com)
Presiden terpilih Prabowo Subianto telah mengumumkan susunan kabinetnya, jumlah departemen dan lembaga setingkat menteri 41, lebih besar dari aturan hukum sebelumnya yang maksimal 34.
Menurut I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebijakan publik, bahwa UU Kementrian Negara telah dikoreksi, menyongsong kabinet “gemuk” Pemerintahan Prabowo.
Dikatakan, jumlah menteri, ketua lembaga dan wakil menteri 109 orang, besaran kabinet yang terbesar semenjak Indonesia Merdeka. Pernah ada era 100 menteri di masa kepemimpinan Soekarno, yang ditandai oleh target politik jelas “mengganyang ” Malaysia, yang untuk sebagian diisi oleh mereka yang kompeten.
Menurutnya, sejarah mencatat, kabinet 100 menteri tsb.gagal mencapai target politiknya, “menggayang” Malaysia, inflasi naik tinggi, dalam istilah Ali Wardhana dalam disertasinya di University Califonia Berkeley, sebagai ekonomi perang (war economy), uang terus dicetak untuk membiayai perang, inflasi naik tinggi, tahun 1966 yakni mencapai 450 persen.
‘Sejarah kemudian mencatat, MPRS dengan Tap No.33/MPRS /1967 mencabut kekuasaan Presiden Soekarno,” katanya.
Dikatakan, Kabinet 100 menteri, membawa catatan kelam dalam kepemimpinan Soekarno. Peristiwa sejarah seperti ini, sudah tentu telah menjadi catatan bagi Prabowo dalam menyusun kabinetnya, yang diberi nama heroik, kabinet Merah Putih.
Menurutnya, jebakan kabinet berskala jumbo, pertama, proses pengambilan keputusan dan koordinasi menjadi sulit, makan waktu dengan risiko tinggi gagal, karena banyaknya orang, tumpang tindih kepentingan, dan agenda yang bisa saja tersembunyi.
Kedua, sebagai kabinet “balas budi” politik, pertimbangan kompetensi, sistem meritokrasi, bisa dengan mudah dikorbankan untuk kepentingan politik praktis jangka pendek.
“Kombinasi antara faktor satu dan dua di atas, dari sisi kepemimpinan dan manajemen politik, tingkat kinerja optimalnya menjadi sulit tercapai,” katanya.
Tantangan bagi kabinet “gemoy” ini, menyebut beberapa, pertama, target ekonomi politiknya bisa tidak fokus, karena tarik menarik kepentingan yang ada, di samping kerja sama tim baru dalam tahap belajar.
Bagaimana menyusun skala prioritas diantara isu: ketatnya APBN, program pemerataan sosialisasi yang dijanjikan, melakukan kompromi dengan para oligarki, isu Keamanan Global dan tuntutan penegakan etika lingkungan.
Kedua, persepsi publik sebagai kabinet perpanjangan pemerintahan Jokowi, sedangkan prestasi ekonominya tidak terlalu menggembirakan: rata-rata pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun pemerintahannya sekitar 4,2 persen per tahun, lebih rendah dengan era SBY sekitar 6 persen, dan sejumlah isu lainnya yang telah “dikuliti” oleh publik.
Ketiga, kabinet gemuk, hasil dari kompromi dan balas jasa politik, mengorbankan prinsip prinsip kabinet akhli (zaken cabinet), untuk ini Presiden Prabowo harus bekerja super ekstra keras dalam 100 hari pemerintahannya dan di tahun pertama, untuk merealisasikan janji-janji kampanyanye yang menggebu-gebu penuh retorika.
“Selamat bekerja untuk Kabinet Merah Putih, dharma bhakti tuan dan puan ditunggu publik,” kata Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebijakan publik. (Sutiawan).