Denpasar (Metrobali.com)-

Menyimak kandidat menteri dan wakil menteri yang diundang oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto, menurut media, jumlah kementerian bisa membengkak sampai 41, sehingga postur kabinet yang akan diumumkan dipastikan “gemoy”, dalam APBN yang “super” cekak.

Hal itu dikatakan Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, Rabu 16 Oktober 2024.

Menurut ekonom partai Gerindra, Syafrudin Abdulah, mantan Gubernur BI, APBN tahun 2025 diperkirakan berjumlah Rp.3,600 T, dikurangi pembayaran hutang sekitar Rp.850 T, dana transfer daerah, dana pemerintah yang tersedia, tinggal sekitar 1,100 – 1,200 T.

Dana ini dipergunakan untuk dana pendidikan Rp.650 T, dan untuk program makan siang gratis Rp.450 T, sehingga tidak ada lagi dana untuk: pembiayaan birokrasi, dana pembangunan yang merupakan proyek pemerintah pusat.APBN tahun 2025 super “cekak”.

Diperkirakan perlu tambahan utang minimal sekitar Rp.1,500 T untuk membuat pemerintahan tahun pertama Prabowo bisa berjalan stabil, dan untuk membelanjai proyek bernuansa “sosialistik” seperti yang dijanjikan dalam kampanyenya.

Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik mengatakan, dalam lanskap politik global, yang fragile, dengan bayang-bayang risiko terjadinya Perang Dunia Ketiga, yang berdampak secara ekonomi berupa: semakin sulitnya memperoleh dana pinjaman luar negeri, risiko naik tingginya harga minyak mentah, Indonesia importir minyak mentah 2 juta barel per hari, bisa menekan APBN dan mendorong laju inflasi.

“Padahal, ekonomi yang ditinggalkan Presiden Jokowi yang “diwariskan” ke Prabowo, ditandai oleh merosotnya daya beli kelas menengah ke bawah, dalam deflasi selama 5 bulan berurutan,” kata I Gde Sudibya.

Dikatakan, kabinet yang “gemoy” yang berbasis politik balas budi, bayang-bayang pengaruh kuat Jokowi, publik menyebutnya: Kabinet Prabowo “rasa” Jokowi, diperkirakan tidak lincah dan cerdas dalam merespons perubahan yang begitu fragile.

“Diperkirakan tahun 2025, ekonomi akan mengalami tekanan internal dan eksternal yang lebih kuat, dengan krisis ekonomi di depan mata. Krisis ekonomi, dalam pemerintahan yang legitimasinya terbatas, bisa melahirkan situasi yang tidak terkendali dengan biaya sosial yang mahal,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik. (Sutiawan)