Presiden Jokowi.

 Jakarta (Metrobali.com)-

Presiden Jokowi boleh berbangga karena sudah meresmikan groundbreaking pabrik batteray (litium) untuk bahan baku pembangunan mobil listrik di Kerawang Jawa Barat yang akan dibangun perusahaan Korea Selatan, Hyndai dan LG bekerjasama dengan Indonesia Baterai Corporatoion (IBC/Petamina, PLN, MIND ID/PT Aneka Tambang). Kita tentu mengapresiasi karena BUMN tambang dan PLN terlibat langsung dalam ekosistem pembuatan mobil listrik mulai dari hulu (bijih nikel), hilir (pabrik lithium) sampai kelistrikan. Artinya BUMN ikut andil dalam proyek strategis mobil listrik yang sudah menjadi paradigma baru dunia sekarang ini.

IBC adalah gabungan empat perusahaan BUMN, PT Pertamina (Persero), PLN (Persero), MIND ID dan ANTM. IBH diharapkan menjadi motor penggerak kebijakan mobil listrik. ANTM adalah perusahaan anggota holding MIND ID yang bukan hanya memiliki konsesi emas (Pongkor dan Cibaliung/Jawa Barat), tetapi memiliki konsesi  nikel tersebar di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara dan Papua. Total cadangan nikel ANTM mencapai 1.362 miliar ton (Baca:Laporan Tahunan ANTM:2019) Tahun 2021, produksi feronikel ANTM diprediksi mencapai 26,000 ton dan produksi bijih nikel mencapai  8,44 juta wet metric ton (wmt ), naik 77 persen dari tahun 2020 sebesar 4,76 juta wmt. Ini menjanjikan di tengah kenaikan harga nikel global.

Prospek IBC juga didukung kebijakan global-nasional. Di level global, Amerika Serikat di bawah Presiden terpilih, Joe Biden akan menyediakan dana triliunan dolar untuk infrastruktur  mobil listrik. Cina menargetkan 350.000 unit penjualan mobil listrik tahun 2025 dan Eropa menargetkan 300.000 unit mobil listrik tahun 2030. Sementara di tingkat nasional, presiden Jokowi pun telah memembuat PP No.55 Tahun 2019, Tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Berbasis Baterai Untuk Transportasi Jalan. Penutupan ekspor nikel dan kewajiban membangun smelter juga adalah langkah strategis pemerintah mengamankan pasokan untuk pengembangan mobil listrik.

Ini penting karena ke depan, produsen-produsen otomotif dipaksa beradaptasi dengan kebijakan baru ini. Produsen otomotif besar, seperti Mitsubishi, Honda dan Toyota mulai menginvestasikan sekitar Rp 100 triliun untuk pengembangan mobil listrik. Penjualan mobil listrik produsen-produsen mobil listrik dunia pun meningkat. Tesla (Amerika Serikat) misalnya, menjual 97,000 mobil listrik tahun 2019 atau meningkat dibandingkan tahun 2018 sebesar 83,777 unit. (Baca: Tesla:2020) sementara, Volkswagen (Eropa) juga menjual 212,000 unit mobil listrik tahun 2020, naik 158 persen dibandingkan tahun 2019. Banyak analis dunia memperkirakan pasar mobil listrik dunia akan tumbuh US$53 miliar tahun 2025. Ini menjadi berkah bagi ANTM dan Indonesia.

Kebijakan mobil listrik penting mengingat Indonesia adalah negara penghasil nikel terbesar atau 27 persen berkontribusi untuk nikel dunia. Indonesia menyumbang 72 juta ton cadangan nikel dari 139.419.000 nikel dunia. Australia hanya menyumbang 15 %, Brasil hanya 8 persen, Rusia 5 % dan lainnya 20 %. Itu artinya, Indonesia harus memiliki posisi tawar tinggi dalam pembangunan mobil listrik, tak boleh mengemis mendatangkan produsen mobil listrik dunia, seperti TESLA . Jika mereka tak menawarkan benefit untuk negara, untuk apa dipaksakan, toh Indonesia menjadi raja nikel dunia.

Ini penting  untuk mengurangi ketergantungan impor minyak mengingat produksi minyak nasional hanya 750.000 barel per hari, sementara kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) domestik mencapai 1,4 juta barel per hari. Indonesia harus mengimpor sekitar 700, 000 barel minyak dari pasar internasional yang membuat neraca perdagangan defisit dan APBN tekor. Dengan perlihan ke mobil listrik, Indonesia bisa selamat dari kelangkaan BBM, jurang defisit dan menciptakan energi bersih. Maka, saatnya pemerintah mengandalkan perusahaan negara, sekelas ANTM menopang kebijakan ini.

Di industry nikel, pemerintah Jokowi perlu diberi masukan. Kepemilikan asing di industri nikel masih dominan, terutama perusahaan-perusahaan Tiongkok. Korporasi asing masuk melalui mitra dengan pengusaha domestik dan paling gencar membangunan smelter. Data Kementerian ESDM (2020) menyebutkan, peta industri nikel nasional bergeser dengan cepat dalam waktu 4 tahun belakangan. Pada tahun 2014, produksi nikel masih dikuasai INCO (Brasil/25persen), ANTM (19 persen) dan perusahaan lainnya (3 persen).

Namun, peta industri hilir sampai produk setengah jadi (intermediate product) telah berubah. Pada 2021, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menguasai 50 persen produksi hilir nikel, INCO  berkurang 22 persen, ANTM hanya 7 persen dan Virtue Dragon (Tiongkok) mengontrol 11 persen. Jadi, hampir 70 persen tambang nikel dikontrol asing.  ANTM hanya memiliki smelter feronikel di Pomala dengan kapasitas produksi 27.000 ton per tahun. ANTM berharap penyelesaian pabrik feronikel di Halmahera Timur dengan kapasitas 13.000 ton per tahun, tetapi tak kunjung tuntas karena terkendala mahalnya harga listrik dari PLN yang membuat proyek itu tak ekonomis. Menteri BUMN, Erick Thohir perlu mencari solusi ini, jangan hanya pencitraan terus.

IMIP adalah perusahaan patungan antara Tsangshan Steel Holding (Tiongkok) 66,25 persen dan Bintang8 (domestik) 33,75 persen. IMIP telah membangun smelter feronikel pertama melalui PT Sulawesi Mining Investment di Bahodopi (Sulawesi Tengah) dengan kapasitas 300.000 ton per tahun. Smelter kedua dibangun PT Indonesia Guang Ching untuk memproduksi 600.000 ton feronikel per tahun. Ekpansi perusahaan di atas masuk akal mengingat Cina adalah salah satu negara yang gencar mendorong pembangunan mobil listrik.

Dominasi perusahaan asing di tambang nikel membuat kedaulatan negara di sektor SDA diuji. Pemerintah bisa saja tak berdaya berhadapan dengan dana besar yang dibawah investor asing dan lupa membuat perhitungan agar produksi nikel tak serampangan. Indonesia tak boleh bergantung pada perusahaan asing mendorong pengembangan mobil listrik. ANTM mestinya menjadi penopang kebijakan mobil listrik.

Untuk itu, kita berharap pemerintah memberikan kesempatan lebih besar kepada ANTM untuk mengontrol beberapa konsensi tambang potensial yang diciutkan INCO di Blok Bahodopi Utara dan Matarape. Dalam lelang blok Bahodopi dan Matarape, pemerintahan kelihatan lamban mengambil keputusan. Lelang dua blok itu sudah berjalan sejak tahun 2018, tetapi pemerintah belum juga mengambil keputusan. Dua tahun itu waktu cukup lama. ANTM membutuhkan kerja cepat dan produsen mobil listrik dunia bergerak kencang. Boleh jadi, tarik-menarik kepentingan dalam kementerian sangat tinggi antara memberikan blok nikel itu ke BUMN atau perusahaan swasta. Pemerintah semestinya memberi prioritas kepada ANTM sebagai perusahaan negara.

Presiden Jokowi mestinya menegur langsung Menteri ESDM dan Dirjen Minerba yang sangat lambat menyelesaikan proses tender wilayah kerja tambang nikel yang sudah diserahkan perusahaan asing kepada negara. Prioritas ke BUMN tambang penting. Presiden perlu tertibkan para mafia tambang yang bermain di setiap tender-tender wilayah kerja tambang yang ingin memonopoli konsensi tambang nikel. Bilaperlu beberapa konsensi nikel yang sedang dalam proses tender di kementerian ESDM diberikan secara gratis kepada ANTM. Dengan begitu, ANTM dan BUMN tambang bisa diandalkan menopang proyek strategis mobil listrik ini.

Penulis : Ferdy Hasiman