Foto: Ketut Ngurah Aryawan, Anggota Komisi I DPRD Kota Denpasar dari Fraksi Partai Gerindra menyerap aspirasi petani.

Denpasar (Metrobali.com)-

Sinar mentari pagi perlahan turun di Balai Subak Pagutan, Desa Padangsambian Kaja, Kecamatan Denpasar Barat. Di tengah hangatnya lagi dan hamparan subak sawah menghijau, Kami pagi 6 Maret 2025 puluhan petani duduk bersila, wajah mereka menyiratkan kegelisahan.

Sawah dan jalur hijau yang dulu hijau membentang, kini satu per satu menghilang, ditelan beton dan besi serta cengkraman para investor, para pengembang perumahan atau developer yang menyuap sawah jadi kadang beton.

Di tengah mereka, Ketut Ngurah Aryawan, Anggota Komisi I DPRD Kota Denpasar dari Fraksi Partai Gerindra, hadir bukan sekadar mendengar. Ia datang membawa janji perjuangan, janji untuk mempertahankan tanah subak dan jalur hijau yang telah menghidupi mereka turun-temurun.

“Walikota harus turun tangan! Jangan biarkan jalur hijau ini musnah di tangan investor,” seru Ngurah Aryawan, suaranya tegas, menggema sampai ke penjuru subak.

Keluhan para petani seakan menjadi nyanyian duka yang berulang. Mereka resah melihat sawah yang terus menyusut, berganti dengan vila mewah dan ruko. Pelanggaran jalur hijau terjadi di depan mata, namun tak ada tindakan tegas dari pemerintah.

Tanah Subur yang Terancam Musnah
Ngurah Aryawan, mantan Ketua Karang Taruna Kota Denpasar dua periode, tahu betul arti sawah bagi kehidupan masyarakat Bali. Jalur hijau bukan sekadar hamparan tanah kosong, melainkan sumber penghidupan, tempat subak menjaga harmoni alam dan manusia.

“Kita tidak bisa diam saja. Jika sawah-sawah ini habis, petani mau ke mana? Apa kita mau wariskan kota yang kehilangan jiwanya?” tanyanya, menatap satu per satu wajah para petani yang hadir.

Made Terima, seorang petani tua, menghela napas panjang. “Kami lelah, Pak. Investor semakin merajalela, sawah kami satu per satu hilang. Kalau begini terus, tak lama lagi kami hanya jadi kenangan,” katanya lirih.

I Nyoman Arianta menambahkan, selain ancaman alih fungsi lahan, anggaran untuk subak juga minim. “Dana dari provinsi hanya Rp8 juta, padahal kebutuhan kami jauh lebih besar,” keluhnya.

Ngurah Aryawan tak tinggal diam. Ia berjanji mengawal kebijakan agar petani tetap mendapat akses pupuk, bibit, hingga irigasi yang memadai. Tak hanya itu, ia siap memastikan harga gabah tetap stabil di angka Rp6.500 per kilogram, seperti program yang dicanangkan Presiden Prabowo.

Perlindungan untuk Petani
Tak hanya soal sawah, Ngurah Aryawan juga menaruh perhatian pada kesejahteraan petani. Ia memastikan mereka mendapatkan perlindungan sosial, mulai dari BPJS Ketenagakerjaan hingga BPJS Kesehatan.

“Kalau ada yang belum punya BPJS, saya bisa bantu. Dalam dua jam, kartu BPJS kalian sudah jadi,” janjinya.

Tak berhenti di situ, ia bahkan menyediakan ambulans gratis dan freezer jenazah bagi warga yang membutuhkan. “Kalau saya tidur, gedor pintu saya. Saya akan bangun dan membantu,” ucapnya, disambut tepuk tangan para petani.

Bank BPD Bali yang turut hadir juga diminta untuk lebih mempermudah akses kredit usaha rakyat (KUR) bagi petani, agar mereka tak lagi terjerat bunga tinggi dari tengkulak.

Sebuah Pertanyaan untuk Pemimpin Kota
Di tengah ancaman musnahnya subak, semangat para petani tetap menyala. Mereka ingin melihat perubahan, ingin keadilan bagi tanah yang mereka jaga.

Namun, pertanyaan besar menggantung di udara: Apakah Walikota Denpasar akan bertindak? Ataukah petani harus terus berjuang sendiri, melawan arus investasi yang menggerus tanah mereka?

Langit Denpasar tetap sama, tapi harapan para petani? Entah esok akan semakin terang atau kian redup. (wid)