Jelang Tahun Politik 2024, Desa Adat Jangan Dijadikan Limbah Politik Praktis
Ilustrasi : Upacara Ngaben di Bali
Denpasar, (Metrobali.com)-
Minimalkan Desa Adat sebagai lembaga dari “limbah” politik praktis. Meminimalkan juga kerancuan akibat tumpang tindih antara kegiatan adat, budaya dan agama dengan “kampanye” politik terselubung.
Hal itu dikatakan Ketua Forum Penyadaran Dharma Jro Gde Sudibya, Kamis 11 Mei 2023 di Denpasar menanggapi wacana Bendesan dan Prajuru Desa Adat nyaleg di tahun politik 2024.
Dikatakan Majelis Desa Adat (MDA) Bali sebagai pengayom Desa Adat, mestinya memberikan semacam panduan bagi Desa Adat dalam bentuk Kode Etik Prilaku, Sesana/Dharma Kriya, bagi pengurus adat yang berkeinginan melakukan politik praktis, misalnya maju menjadi caleg dan atau jabatan publik lainnya.
Semestinya mereka ini, kata Jro Gde Sudibya mengundurkan diri dari pengurus adat, sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara kegiatan adat, budaya dan agama dengan kegiatan politik praktis, dengan seluruh nuansa politiknya.
“MDA sebagai pengayom Desa Adat, semestinya tidak melakukan intervensi politik terhadap lembaga adat yang memperoleh hak otonomi dari konstitusi,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan, jika tidak ikut berpolitik praktis, maka para pengurus Desa Adat bisa lebih fokus menjalankan swadharmanya, dan semestinya memperluas perannya tidak sebatas perbaikan Pura, penyelenggaran upakara, mulai masuk ke kegiatan peningkatan kualitas SDM krama Bali, pada program, pengentasan kemiskinan, pelatihan untuk peningkatan ketrampilan, dan program pemberdayaan dan kemandirian krama.
Kegiatan yang banyak berdimensi niskala selama ini, kata Jro Gde Sudibya harus diperkaya dengan program skala, yang direncanakan dengan baik, terukur programnya dan ditentukan tolok ukur keberhasilannya.
“Sudah waktunya pengurus adat, bersinergi dengan semua potensi yang ada di desa dalam program pemberdayaan krama, untuk peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi krama,” katanya.
Menurutnya, potensi yang dimiliki oleh LPD, tokoh-tokoh masyarakat yang peduli, dan kalangan teruna-teruni, semestinya dimanfaatkan lebih optimal dalam mengelola potensi desa adat seperti: Desa wisata, agro wisata perdesaan, industri pengolahan produk pertanian skala kecil yang ramah lingkungan. Semestinya potensi ini bisa didanai dari aneka bantuan sosial yang “mengalir” ke desa plus gerakan kemandirian warga.
Sehingga dana ini, kata Jro Gde Sudibya tidak hanya dipergunakan untuk kegiatan “klasik” memperbaiki, membangun bale banjar, pura, kegiatan upakara, yang semestinya lebih menjadi kewajiban krama setempat. (Adi Putra)