Jebakan dalam Perekonomian Indonesia, dengan Risiko Ekonomi Politik Tinggi
Ilustrasi
Jakarta, (Metrobali.com)
Kebijakan fiskal yang kurang prudent, kurang hati-hati, yang membuat APBN tamsilnya “lebih besar pasak dari pada tiang”, yang membuat investasi riil terutama dalam “foreign direct investment” menjadi tersumbat, akibatnya pertumbuhan ekonomi tertekan.
Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi, Rabu 12 Maret 2025.
Dikatakan, kekurang cermatan dalam mengelola “big issue” seperti kasus Danantara, dengan rencana kapitalisasi jumbo US $ 900 M, membuat pasar uang dan modal menjadi bergolak (folatile), yang berakibat turunnya IHSG dan juga penurunan nilai rupiah.
“Kekurangcermatan dalam mengelola isu ini, punya potensi memicu krisis keuangan yang berkepanjangan dengan risiko politik. Krisis keuangan tahun 1998 semestinya dijadikan cermin untuk belajar,” kata I Gde Sudibya.
Dikatakan, lesunya daya beli, diimbuhi dengan PHK besar-besaran terutama di industri tekstil, dengan indikasi lesunya ekonomi di menjelang hari raya Lebaran (yang biasanya ekonomi bertumbuh), menyimpan magma persoalan, yang semestinya dikelola dengan baik oleh pemerintah, untuk tidak menimbulkan ledakan sosial.
Menurutnya, perang dagang terutama antara AS dengan China, yang dipicu oleh kenaikan tarif impor bagi produk China ke AS, bisa berdampak serius berupa, produk China semakin membanjiri pasar Indonesia, yang semakin menekan industri dalam negeri yang selama ini sudah tertatih-tatih dalam menghadapi produk China. Akibatnya, PHK bisa akan terus berlanjut.
Tantangan lainnya, menurut I Gde Sudibya, Kabinet Merah Putih, pasca 100 hari Pemerintahannya belum menemukan posture yang tepat, di sisi lain “public trust” terhadap pemerintahan ini jika menyimak isu yang berkembang di media sosial terus mengalami kemerosotan, membuat manuver pemerintah dalam perumusan kebijakan publik menjadi semakin terbatas.
“Konsistensi kebijakan pemerintah, komunikasi publik pemerintah menjadi tantangan yang menghadang,” kata I Gde Sudibya.
Masalah lain, katanya kepemimpinan nasional tidak menunjukkan cirinya yang otentik, kesan publik, menanggung beban kepemimpinan masa lalu yang berat, yang menimbulkan penolakan publik.
“Political distrust”, jika bersinggungan dengan krisis ekonomi yang dipicu oleh perlawanan kelas menengah (yang pendapatan riilnya terus merosot) bisa melahirkan krisis politik besar yang sulit dikelola, kata Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi.
Jurnalis : Nyoman Sutiawan