DENPASAR (Metrobali.com) –

Saat ini, Bali dinilai tidak sedang baik-baik saja. Situasi dan kondisi Parhyangan, Pawongan dan Palemahan Bali sebagaimana dijelaskan dalam konsep keharmonisan Tri Hita Karana, dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami perubahan (kerusakan) yang sangat signifikan. Para pakar manajemen menyebutkan, dunia dan tak terkecuali Bali, telah mengalami fenomena global yang dinyatakan dengan akronim VUCA (Volatility/kelabilan, Uncertainty/ketidakpastian, Complexity/kerumitan dan Ambiquity/ketidakjelasan). Oleh karena itu, jika melihat keadaan Bali saat ini, jangankan menetapkan Garis-garis Besar Haluan 100 Tahun Pembangunan Bali, dalam 5-10 Tahun saja tak seorang pun mampu memprediksi. Karena itu, para intelektual dan pemikir Bali mesti bersatu menyusun skenario untuk “menyelamatkan” Parhyangan, Pawongan dan Palemahan Bali dari kehancurannya, jika ingin Bali masih tetap eksis sampai ke anak cucu.
Demikian mengemuka dari Focus Group Discussion (FGD) bertajuk : “Pancasila Menyelamatkan Parhyangan, Pawongan dan Palemahan dalam Garis-garis Besar Pembangunan Bali 100 Tahun”, di Kampus IPB Internasional, 1 Juni 2023. FGD yang menampilkan 3 narasumber yakni Prof. Dr. Putu Rumawan Salain, S.T, M.Si; Drs. Jro Gde Sudibya dan Ir. Putu Wirata Dwikora, S.H dipandu Ir. Nyoman Merta, M.I.Kom dihadiri oleh sejumlah Pandita, para Pembina Umum Paiketan Krama Bali, Pengurus Inti Paiketan, Ketua-ketua Divisi dan para Ketua Departemen di Paiketan Krama Bali.
Ketua Umum Paiketan Krama Bali, Dr. Ir. I Wayan Jondra, M.Si menyampaikan terima kasih kepada semua pihak hingga terlaksananya FGD dan HUT ke-6 Paiketan Krama Bali. Ia menjelaskan Paiketan Krama Bali sebagai wadah pemersatu krama Bali untuk mencapai Bali yang Jagadhita lan Santih. Jondra juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor IPB Internasional atas bantuan ruangan dan semua fasilitasnya. Dukungan dana punia dari para senior, pengurus dan anggota Paiketan Krama Bali sangat menentukan keberhasilan acara tersebut.
Rektor IPB Internasional, Dr. I Made Sudjana, CHA dalam sambutannya sebelum membuka FGD menyatakan, dari sisi Pawongan, Bali seharusnya mampu mencetak SDM Bali yang unggul dan berkharakter. Karena itulah, ia meminta para pengambil kebijakan dan seluruh sake holders di Bali agar bersatu dan serius menggarap sektor pendidikan untuk mencetak SDM unggul. Menurutnya, hanya ada 3 sektor pembangunan yang perlu disubsidi oleh pemerintah yakni : pendidikan, kesehatan dan pertanian. Jika pemerintah mau fokus mensubsidi 3 sektor ini, maka Bali akan mampu menciptakan SDM unggul, sehat dan sejahtera. Selaku praktisi pendidikan, Made Sudjana menginginkan next time Bali menjadi pusat penidikan dan pariwisata di dunia. “Kalau mau belajar pariwisata, belajarlah ke Bali”. Ia juga menyatakan, di bidang pariwisata dan budaya, Bali sebenarnya mampu bersaing.
Palemahan Bali Terus Menyusut
Narasumber Prof. Rumawan Salain melalui presentasinya dengan tema : “Menyelamatkan Palemahan, Pawongan dan Parhyangan melalui Garis-garis Bear Haluan Pembangunan Bali 100 Tahun ke Depan” menyampaikan renungan : tampaknya tidak seorang pun mampu mengetahui apa yang akan terjadi esok, lusa, apa lagi 100 tahun ke depan! Namun, kelebihan manusia adalah dia dengan segala daya dan akalnya mencoba mereka – reka apa yang diduga akan terjadi satu abad kemudian atas pengetahuan dan pengalamannya. Jawabannya adalah melalui studi mendalam atas daya dukung alam Bali disanding dengan perencanaan yang holistik “atita-nagata-wartamana” dapat dijadikan konsep “haluan” setidaknya untuk 11 juta lebih penduduk di Bali pada 2125 mendatang. Semoga !
Dari sisi Palemahan, Rumawan memprediksi, permasalahan lahan (Palemahan) Bali dalam 100 Tahun ke depan adalah sebagai berikut : (1) terjadi penyusutan luas lahan akibat naiknya permukaan air laut akibat climate change; (2) Abrasi pesisir pantai; (3) Perusakan hutan, perubahan alih fungsi lahan akan bermuara pada kerusakan ekologis dan ikutannya; (4) Meningkatnya jumlah penduduk 100 tahun mendatang jika berpedoman pada draft haluan menyebutkan berada pada kisaran 9 hingga 11 juta lebih. Jumlah penduduk yang besar ini akan mengubah lahan Bali sebagai bagian dari kebutuhan pangan dan papan; (5) Akan terjadi negosiasi terhadap pemanfaatan kawasan hutan lindung (31,2 %) dan budidaya (68,8%). Dari kawasan budidaya 68.8% (388.088 hektar) akan dimanfaatkan untuk pertanian 76,84% (298,214), hutan produksi 2,22% (8,626), pariwisata 3,25 % ( 12.626,38), dan permukiman 13,70% (53,192,7) sehingga luas kawasan hutan lindung akan terus berkurang; (6) Alih fungsi lahan akibat jumlah wisatawan yang datang atau menetap dan berusaha di Bali.
Selanjutkan (7) Luas lahan eksisting terus berkurang. RTRWP No.16 Tahun 2009 menyebut 563.665 hektar, luas tersebut berkurang menjadi 559.015 hektar (presentasi Gubernur Bali 2023) atau menyusut sekitar 4.650 hektar (sekitar 0,82%), atau kemungkinan salah ukur. Jadi, dalan 100 tahun mendatang, luas lahan eksisting Bali diyakini kian menyusut; (8) Dalam 100 tahun mendatang akan ada sekitar 7.000.000 jiwa atau sekitar 1.167 KK (dengan pendekatan tiap KK terdiri dari 6 orang, yaitu ayah, ibu, wayan s.d. ketut). Terhitung sejak tahun 2025 sudah harus dipersiapkan perumahannya. Jika setiap KK dihitung butuh lahan rumah 150 m2 (termasuk fasilitas umum dan sosial serta jalan ), maka total di tahun 2125 akan butuh lahan seluas 17,5 hektar; (9) Diduga akan banyak lahan sawah yang akan berkurang akibat pertumbuhan penduduk atau pun kurangnya minat ornag Bali menjadi petani, bahkan ada indikasi untuk membagi lahan pusaka “waris” untuk beragam keinginan dan kebutuhan; (10) Jurang,tebing, sungai, danau, pesisir pantai maupun bukit dan lereng pegunungan akan diincar investor unuk fasilitas pariwisata; (11) Kawasan suci dan tempat suci kian terhimpit oleh keperluan pembangunan; (12) Jika kita masih “memuja” dan memberikan kekhususan pada pariwisata, maka 15 kawasan pariwisata yang telah mengambil luas 18 % (99.226 hektar) dari luas Pulau Bali akan kian memperluas wilayah kawasannya.
Prof Rumawan menyarankan kepada pengambil kebijakan : (1) membuat perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang Bali untuk tercapainya pembangunan berkelanjutan dan tercapainya moksartham jagadhita ya ca iti dharma; (2) Perencanaan GBH Pembangunan 100 Tahun mendatang dilandasi dengan penelitian yang baik dan benar, dan hasilnya diusulkan agar diperdakan dan menjadi pedoman bagi siapa saja yang memimpin Bali; (3) Pembangunan pertanian tetap menjadi prioritas utama yang disanding dengan pariwisata budaya, namun eksplorasi daratan dan lautan sangat diperlukan untuk mencari sumber daya alam atau energi alam untuk dikembangkan; (4) Pembangunan 100 tahun agar dibagi menjadi 5 tahapan. Setiap tahap setara dengan 5 tahun, sehingga tersusun 20 tahap kedepan dengan masing-masing tahapan capaian yang ditargetkan. Ada upaya sinergitas dengan pembangunan nasional; (5) Mari kita tingkatkan SDM dan tata ruang Bali dengan semangat BALI (Bangun, Amankan, Lindungi, Immortality) “keabadian”.
Perda RTRW Bali 2023 Sangat Kapialistik
Sementara itu, dari sisi Pawongan, Drs. Jro Gde Sudibya menilai, Garis-garis Besar Haluan Pembangunan Bali 100 Tahun adalah sesuai yang nyaris mustahil, ilusi dan fatamorgana. Ia mengutif Yuval Noah Harari pengarang Buku ternama “SAPIENS”, dan “HOMODEUS” (Manusia Dewa) yang menyatakan : “Nyaris tidak mungkin memprediksi keadaan dunia untuk 10 tahun ke depan”. Pesimisme itu ia lontarkan setelah melihat fenomena global yang dinyatakan dengan akronim VUCA yakni Volatility =kelabilan; 2. Uncertainty=ketidakpastian; 3. Complexity=kerumitan; 4. Ambiguity=ketidakjelasan, kesamaran). Menurutnya, era VUCA mewajibkan manusia Bali : Mesti kuat secara karakter, mempunyai kekuatan mental (resilensi); Mampu merespons dan menciptakan perubahan. Jika tidak, maka manusia Bali akan digilas oleh jaman yang berubah sangat cepat di era VUCA.
Jro Gde Sudibya bercermin pada kearifan lokal-kultural Bali Era Bali Mula. Menurutnya, diperlukan revitalisasi Ethos Kerja masyarakat Bali yang bercirikan: kejujuran, dimulai dari kejujuran terhadap diri-sendiri dan orang lain, hidup bersahaja, dan yang tak kalah penting, respek pada alam (tanpa merusaknya). Ethos kerja ini, kata Sudibya, merupakan basis dalam pembangunan karakter manusia Bali. Terkait pembangunan kharakter, Jro Gde menyitir Bhagavadgita Bab 2 (Dua) : Samkya. Menurutnya, pembangunan karakter sangat dibutuhkan untuk menjadi insan-insan manusia Bali yang berkarakter kuat – Stitha Prajna -, Strong Personality, punya kecerdasan seimbang, berkarya tanpa kemelekatan (Vairagya).
Bertitik tolak dari pokok-pokok pikiran itu, ia sangat mengecam segala bentuk pembangunan infrastruktur yang melabrak bhisama leluhur Bali. Ia mencontohkan penataan kawasan Pura Besakih telah “merusak” tatanan niskala sebagaimana telah diwariskan oleh para leluhur Bali melalui bhisama. Menurutnya, setiap pembangunan semestinya didasari dengan perencanaan yang matang dilengkapi oleh kajian ilmiah, Amdal, ijin-ijin dan segala persyaratan yang dibutuhkan dan harus mengikuti Bhisama Leluhur. Yang lebih membuatnya miris adalah RTRW Bali 2023-2043 dinilainya sangat kapitalistik dan berbahaya bagi kelangsungan Bali 20 Tahun kedepan. “Saya usulkan perlu ada FGD khusus membahas Perda RTRW Bali 2023 dan saya usulkan agar kembali ke Perda RTRW 16 Tahun 2009 karena Perda RTRW Bali 2023 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Tak hanya soal Besakih, Jro Gde asal Tajun Buleleng ini juga mengkritik pembangunan Pusat Kebudayaan Bali (PKB) yang menurut Prof Rumawan Salain, menggunakan lahan bodong. Yang lebih membuanya sedih, pengurugan lahan PKB itu menggunakan tanah dengan merusak kawasan Bukit Buluh, Klungkung dan ini telah dikecam secara luas oleh kaum intelekual Bali dan aktivis lingkungan.
Kawasan Suci di Bali Telah Dilindungi Perda
Sementara itu, menurut Putu Wirata Dwikora, sebenarnya Pemerintah Pusat dan Bali telah memiliki regulasi dan Perda untuk melindungi zona atau kawasan suci dan Palemahan Bali (termasuk Palemahan Desa Adat). Ia mengurai beberapa produk regulasi dari Pemerintah Bali yang sudah cukup untuk melindungi Bali jika ditegakkan. Perda Tata Ruang dan Wilayah Prov. Bali (Bhisama kesucian Pura, Tri Hita Karana, lahan sawah dilindungi (LSD); Perda 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat (perlindungan dan penguatan Desa Adat); Perda RWP3K Bali. Perda RWP3K ini adalah strategi menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya, dalam merencanakan, memanfaatkan, mengawasi, dan mengendalikan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil Bali secara komprehensif dan terintegrasi, sehingga tetap lestari serta dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan; juga telah ada Perda Prov. Bali No. 9 Tahun 2012 tentang Subak (untuk melestarikan eksistensi Subak).
Di tingkat pusat sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah; Permen Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No.12 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Verifikasi Data Lahan Sawah Terhadap Data Pertanahan dan Tata Ruang, Penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi, dan Pemberian Rekomendasi Perubahan Penggunaan Tanah pada Lahan Sawah yang Dilindungi; Putu juga memaparkan bahwa Bali telah punya Perda No. 1 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Peraturan Gubernur Bali No.25 Tahun 2020 tentang Fasilitasi Pelindungan Pura, Pratima, dan Simbol Keagamaan.
Selain berbagai ancaman dan permasalahan yang dihadapi Bali, khusus menyangkut aspek Parhyangan, Menurut Putu Wirata, tantangan Bali ke depan adalah adanya eksploitasi lahan untuk investasi di kawasan suci Pura Sad Kahyangan/Dang Kahyangan, gunung, hutan, jurang, ketinggian (ruang angkasa), dan lainnya. Jika mencermati regulasi di Bali relatif cukup, maka dalam 100 tahun, tantangan yang dihadapi Bali adalah seberapa efektif pelaksanaannya dan sejauh mana penegakan hukumnya, jika terjadi pelanggaran dan berapa indeksnya? Jika dipakai skala antara 0 sampai dengan 10. Ini akan bermasalah pada budaya kekuasaan yang korup. Jika melihat IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Indonesia hanya 3,4 atau 3,2 Tahun 2023. Kalau angka ini tak kunjung meningkat sampai di IPK 8,0 sampai IPK 9,0, maka potensi degradasi dalam 100 Tahun ke depan memang mimpi buruk.
Untuk mengawal semua itu, Putu menyarankan para intelektual Bali mesti aktif memberikan masukan kritis dan konstruktif kepada penguasa; mengadvokasi isu-isu publik strategis untuk kelestarian Bali (Parahyangan, Pawongan, Palemahan); juga melakukan advokasi non litigasi maupun litigasi dan memperkuat kualitas SDM melalui pendidikan dan lain-lain.
Tolak Toll Gilimanuk-Mengwi
Dalam sesi diskusi, sejumlah tokoh memberikan pandangan, saran dan masukan. Ida Rsi Wisesanatha misalnya, menermati pentingnya spirit Pancasila untuk menelaah semua persoalan yang dihadapi Bali. Menurutnya, perlu ada diskursus kaum intelektual untuk merumuskan solusi bagi permasalahan Bali. “Bali membutuhkan pemimpin yang berjiwa Pancasila sejati” ungkapnya. Mantan Dirut BTDC Nusa Dua, Ir. Made Mandra, M.Sc menolak pembangunan Toll Gilimanuk – Mengwi yang dinilai akan menghancurkan Bali. Dari sisi pendidikan SDM, Dr, I Gede Rudia Adipura, M.Ag mengaku prihatin sampai saat ini belum ada sinergitas untuk membua sisem pendidikan formal pasraman antara Kementerian Agama dan Kemendikbud Ristek padahal pemerintah melalui Kementerian Agama telah menerbitkan PMA No 10 Tahun 2020 tentang Perubahan PMA 56 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu.
Ahli Ekonomi dan Keuangan Bali, I Gde Made Sadguna, S.E, MBA, DBA mengatakan, untuk menghadapi era VUCA, Bali butuh ahli-ahli dan kelompok intelektual yang mampu membuat strategi yang benar, menerapkan Dynamic SWOT Analysis dan kemampuan 3 T (Tanggap/Responsif; Tanggon/Tangguh dan Trengginas/fleksibilitas). Menurutnya, dibutuhkan kriteria Manusia Bali unggul, adaptif dan memiliki leadership yang baik. Ia menilai, secara indivisu sebenarnya orang-orang Bali itu hebat, namun secara kolektif sangat lemah sehingga seperti “lidi sambrag”. Sadguna berharap, FGD bisa merumuskan permasalahan yang strategis dan solusinya.
Sementara itu, Dr. I Made Swasti Puja, S.E, M.Fil.H menilai, ekonomi masyaraka Bali telah “dikuasai” oleh kaum pendatang. “Bagaimana mengatakan ajeg Hindu kalau secara ekonomi orang Bali sudah kalah bersaing” ujarnya. Oleh karena itulah, ia sepakat dengan Made Mandra untuk menolak pembangunan Toll Gilimanuk-Mengwi karena sarat dengan kepentingan politik. Menurutnya, penolakan itu mesti serius dengan surat pernyataan bermeterai.
FGD yang berlangsung selama 3,5 jam itu dilanjutkan dengan doa syukur angayubagia 6 Tahun Paiketan Krama Bali oleh Ida Rsi Wisesanatha dilanjutkan pemotongan tumpeng oleh Ida Pandita Siwa Budha Daksa Darmita diakhiri dengan santap malam (*ram).
Caption :
1. I Wayan Jondra, baru merah
2. Rektor IPB Internasional, Dr. I Made Sudjana, CHA
3. Jro Gde Sudibya sedang menjelaskan materinya
4. Narasumber, Pembina dan Pengurus Paiketan serta seluruh peserta FGD
5. Para narasumber dan moderator diapit oleh Pembina Umum Ida Rsi Wisesanatha dan Ketua Umum, I Wayan Jondra
6. Mantan Direktur Utama BTDC Nusa Dua, Ir. I Made Mandra, M.Sc menolak Pembangunan Toll Gilimanuk-Mengwi
7. Koordinator Pembina Umum Paiketan Krama Bali, Ida Rsi Wisesanatha memberikan masukan