Denpasar, (Metrobali.com)

Pembangunan berbasus budaya. “Perspektif ini  mengingatkan pada gagasan Soedjatmoko  (1922- 1989), seorang  pemikir kebudayaan, bahwa ekonomi merupakan hal penting  untuk membangun Indonesia. Intinya, bahwa kebudayaan dan karakteristik sosial masyarakat adalah fondasinya.

Dengan berbasis kebudayaan, pembangunan diharapkan  dapat semakin mengembangkan otonomi manusia. Jika otonom, manusia akan lebih kreatif, cerdas, dan berorientasi pada ujungnya adalah kemajuan peradaban “.

Tajuk Rencana Kompas (15/9/2022).

Berangkat dari pemikiran di atas timbul pertanyaan: apakah proyek Pusat Kebudayaan Bali dan proyek jalan tol Gilimanuk – Mengwi, akan membuat manusia Bali lebih otonom, kreatif, cerdas dalam merespons perubahan? Tentu tidak. Masih banyak yang perlu dipertimbangkan. Masalah lingkungan, hubungan pertalian adat, agama, seni budaya dan sosial masyarakat di tengah kapitalisme menjadi ancaman di depan mata.

Pembangunan megaproyek jalan tol Mengwi Gilimanuk dan Pusat Kebudayaan Bali tidak sebatas hitungan ekonomi makro di  atas kertas, tetapi di balik itu, alam menjadi rusak dan masyarakat Bali sendiri semakin terpinggirkan.

Tantangannya adalah bagaimana industri pariwisata Bali selama 4 dasa warsa sangat didominasi oleh kapitalisme pariwisata, dikoreksi dengan merujuk local wisdom masyarakatnya.

Tantangan ke depan tidak semakin mudah, karena engambil kebijakan dewasa ini tetap menggunakan paragdima lama: develomentalism pertumbuhan ekonomi menjadi panglima, abai terhadap lingkungan dan kelestarian budaya. Walaupun jargon-jargonnya ” mengukir  “langit rokhani” dan mensejahterakan masyarakat Bali. Masyarakat Bali yang mana? Tentu hal ini menjadi pertanyaan besar. Apakah masyarakat Bali membutuhkan jalan tol dan pusat kebudayaan Bali?

Jro Gde Sudibya, pengamat ekonomi dan kebudayaan.