Jakarta tidak perlu penghasilan tambahan dari reklamasi Teluk Jakarta

Dokumentasi aktivitas proyek reklamasi Teluk Jakarta, Kamis (14/4/2016). Dalam rapat kerja yang berlangsung Rabu (13/4/2016), Komisi IV DPR dan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, sepakat agar proyek reklamasi Teluk Jakarta dihentikan. (ANTARA FOTO/Agus Suparto)

Jakarta (Metrobali.com)-

Pengamat perkotaan dari Universitas Parahyangan, Marco Kusumawijaya, menilai Jakarta tidak memerlukan penghasilan tambahan dengan membangun 17 pulau buatan di Teluk Jakarta. Jika ini jadi, maka akan ada tambahan daratan seluas 5.100 Hektare.

Menurut dia, rendahnya serapan anggaran DKI pada 2015, yaitu 67 persen dari total anggaran sebesar Rp67,28 triliun, menunjukkan banyak dana yang masih sangat cukup digunakan untuk rehabilitasi laut tercemar, bukan malah mereklamasi.

“Persoalannya, pemahaman tentang pentingnya rehabilitasi itu kurang karena orang tidak paham bahwa merehabilitasi lingkungan sebetulnya merehabilitasi ekonomi,” ujar dia, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (17/4).

Rehabilitasi yang dimaksud Kusumawijaya, adalah mengendalikan limbah yang dibuang ke sungai-sungai dan pada akhirnya bermuara ke laut utara Jakarta.

Untuk itu, daripada menambah luasan wilayah darat dengan reklamasi Teluk Jakarta hanya atas dalih untuk memicu pertumbuhan bisnis properti dan komersial, ia dengan tegas meminta agar laut Jakarta dipulihkan atau direhabilitasi.

Pendiri Rujak Center for Urban Studies (RCUS) itu juga menolak anggapan bahwa penghentian reklamasi pulau akan berdampak pada kerugian negara karena pulau-pulau yang kini tengah dibangun akan “mangkrak”. Kata dari bahasa Jawa ini (mangkrak) memang terkenal belakangan ini.

“(Kalau dilanjutkan reklamasi), Kerugian justru terjadi pada sesuatu yang kita sebut milik bersama yaitu laut. Sementara yang untung ya pribadi, perusahaan, dan pemerintah dengan rezimnya saat ini,” kata dia.

Dia katakan, pulau-pulau buatan yang sudah terlanjur dibangun bisa difungsikan untuk proses rehabilitasi seperti ditanami bakau atau didirikan kampung nelayan.

Meskipun tidak bisa pulih seperti semula, kata dia, namun rehabilitasi bisa mendukung upaya bioremediasi atau menghidupkan kembali biota-biota yang ada di perairan utara Jakarta.

Sebelumnya pada Jumat (15/4), Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, atas kesepakatan dengan Komisi IV DPR, meminta pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta terlebih dahulu sampai memenuhi aturan perundangan yang telah disyaratkan.

“Reklamasi dilakukan tanpa ada rekomendasi serta tidak ada perda zonasi wilayah pesisir,” kata dia.

Dia mengingatkan, bila pemerintah Provinsi DKI ingin melakukan reklamasi Teluk Jakarta, maka harus mendapatkan rekomendasi dari pihak pemerintah pusat.

Baru kemudian, reklamasi tersebut bisa dilaksanakan sesuai dengan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir yang ada di setiap daerah.

Di tempat terpisah, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Purnama, yang akrab dipanggil Ahok, mengatakan, respon Presiden Joko Widodo terkait reklamasi Teluk Jakarta pada prinsipnya yang penting tidak merusak lingkungan.

“Saya kira secara prinsip presiden pernah jadi gubernur. Bagi presiden reklamasi tidak ada yang salah, seluruh dunia ada reklamasi, yang penting jangan merusak lingkungan, kata presiden,” kata Ahok mengutip pernyataan Jokowi, di Jakarta, Jumat (15/4).

Berbeda dengan boss-nya, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Hidayat, mengemukakan, reklamasi Teluk Jakarta memang sebaiknya dihentikan karena belum ada landasan hukum bagi pengembang untuk bisa membangun sehingga sebaiknya menunggu adanya perda.

Dia juga menginginkan agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah yaitu pemerintah Provinsi DKI dapat duduk bersama agar tidak ada lagi silang pendapat termasuk untuk menyamakan pandangan mengenai peraturan perundangan yang berlaku terkait dengan proyek reklamasi.  Sumber : Antara