Anggota DPRD Badung Dapil Petang Nyoman Suka, S.E.
Mangupura (Metrobali.com) –
Kalangan pedagang di Pasar Petang yang diwakili Ketut Durminta menjerit akibat beban iuran yang naik melebihi 100 persen. “Iuran ini sangat membebani kami karena kenaikannya yang fantastis di tengah situasi pasar yang mati suri,” ujar pedagang yang berasal dari Banjar Telutub, Carangsari saat dihubungi, Kamis (30/1) kemarin.
Pedagang kelontong itu merinci, sebelumnya setiap pedagang hanya dikenakan iuran Rp 7.000 per hari dan dipungut setiap tiga hari sekali. “Setiap pemungutan kami dikenakan Rp 21.000,” ujarnya.
Saat ini, ungkapnya, iuran yang dikenakan mencapai Rp 450.000 setiap bulannya. Dengan besaran ini, tegasnya, setiap pedagang terbebani Rp 14.500 per harinya. “Dari Rp 7.000 menjadi Rp 14.500, kenaikannya jelas di atas 100 persen,” katanya.
Kenaikan ini pun, katanya, tak pernah disosialisasi sebelumnya. Kebijakan ini diterapkan begitu saja dengan alasan sudah diputuskan oleh pihak direksi. Dia pun sangat menyayangkan, kebijakan ini diberlakukan saat kondisi pasar yang masih mati suri. Selain minim pembeli, katanya, pasar pun berlangsung sekitar pukul 10.00. “Sekarang ini sekitar pukul 11.30, situasi pasar sudah sangat sepi,” ujarnya.
Lonjakan iuran di Pasar Petang juga mendapat atensi dari anggota DPRD Badung Dapil Petang Nyoman Suka, S.E. Menurut politisi Partai Golkar tersebut, lonjakan iuran ini sangat tidak masuk akal di tengah lesunya situasi pasar. “Kami tidak mengerti, kenapa direksi mengambil kebijakan ini di tengah lesunya pasar Petang saat ini,” tegasnya.
Yang lebih disayangkan, kebijakan tanpa pernah disosialisasi sebelumnya. Kalau kebijakannya seperti ini, dia mempertanyakan, di mana keberpihakan PD Pasar terhadap krama khususnya pelaku UMKM di Pasar Petang.
Dia menilai, saat ini Direksi PD Pasar belum saatnya menaikkan iuran. Yang harus dilakukan, tegasnya, PD Pasar melakukan kreativitas serta kegiatan-kegiatan yang mampu mendatangkan pembeli ke Pasar Petang. “Jika pasar sudah ramai, pedagang dapat hasil berjualan lebih, barulah menaikkan iuran atau retribusi,” katanya sedikit geram.
Tak hanya soal retribusi. Nyoman Suka juga mempertanyakan kebijakan relokasi pedagang di Pasar Petang. Di satu areal, ada sekitar 22 pedagang. Semua pedagang ini direlokasi selanjutnya areal ini dibangun dan menjadi 38 kios. Ketika kios sudah jadi, pedagang lama tidak memperoleh prioritas dan kebanyakan saat ini dapat tempat berjualan di belakang. Pedagang baru justru banyak yang memperoleh di depan di depan.
Satu lagi, katanya, ada 4 unit kios di depan sampai saat ini dikosongkan. “Kami mempertanyakan 4 kios ini. Apakah sengaja dikosongkan, tak ada yang berminat atau ada alasan lain,” katanya.
Sementara itu, Dirut Perumda Pasar Made Sukantra saat dimintai konfirmasi terkait hal ini membantah adanya kenaikan iuran pedagang di Pasar Petang yang nilainya melebihi 100 persen. Yang terjadi saat ini, semua kewajiban pedagang digabung menjadi satu sehingga mencapai jumlah Rp 450.000. “Saat ini hanya ada tambahan kewajiban toilet sekitar Rp2.000 per hari. Dengan iuran toilet ini, semua pedagang bebas memanfaatkan fasilitas ini,” katanya.
Dulu, ungkap Sukantra, kewajiban pedagang tidak menyatu. Khusus iuran dia membernarkan pedagang dikenakan Rp7.000 per hari. Namun di luar itu, pedagang masih dikenakan sewa kios maupun los yang hitungannya per meter per segi, serta biaya-biaya lainnya. “Sekarang ini kewajiban pedagang disatukan menjadi Rp450.000 per bulan. Pedagang tak lagi memikirkan kewajiban sehingga fokus berjualan,” ungkapnya.
Terkait 4 kios yang masih kosong, Sukantra menegaskan, itu terjadi karena empat kios tersebut belum diserahkan kepada pengelola dalam hal ini PD Pasar. Nantinya ketika sudah diserahkan, kios tersebut akan diumumkan kepada masyarakat. “Pasti kami akan umumkan secara transparan jika sudah diserahkan,” tegasnya.  (SR-MB)
Editor : Sutiawan